REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Komisi Pemilihan Umun (KPU) Sleman membantah tuduhan ketidakadilan gender yang dilontarkan aktivis perempuan. Narasita dan Aliansi Perempuan Sleman sempat menggugat maskot pemilihan bupati yang dianggap pro kaum pria. Sebab, maskot Pakde Slemi berupa burung punglor tersebut menggunakan jarit, lurik, dan blankon.
Menanggapi gugatan tersebut, Ketua KPU Sleman, Ahmad Shidqi mengatakan pemilihan maskot berdasarkan fauna khas Sleman, yaitu burung punglor. "Hal ini sesuai SK Bupati Sleman Nomer 3 Tahun 1999. Karena maskot yang dipilih harus menonjolkan kekhasan daerah setempat," tutur Shidqi, Rabu (24/6).
Ia menuturkan, KPU juga sudah berkonsultasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) serta Bagian Humas Pemkab Sleman dalan menentukan maskot tersebut. Bahkan KPU RI, meminta agar KPU Kabupaten mengedepankan lokalitas.
Sehingga dipilihlah blankon sebagai simbol budaya setempat. "Kami harus memilih yang ikonik, maka dipilih blangkon dan sorjan," imbuhnya.
Sedangkan penggunaan kata 'Pakde' tidak dimaksudkan untuk menonjolkan gander tertentu. Tapi hanya sekedar panggilan agar lebih akrab ditelinga masyarakat. "Tapi kata 'pakde' tidak masuk dalam maskot. Nama maskot kami adalah Slemi, singkatan dari Sleman Memilih," ucap Shidqi.
Ia menyebut, tidak ada tendensi dari KPU Sleman untuk memihak gender tertentu dan mengarahkan pencalonan bupati laki-laki. Karena hingga kini belum ada calon yang mendaftarkan diri. "Sedangkan pengadaan maskot baru tidak mungkin dilakukan. karena porsi anggaran untuk pengadaannya hanya sekali," katanya.