REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengecekan baru-baru ini yang dilakukan oleh 10 peneliti di pantai barat Sumatra, dinilai tidak bisa diacuhkan begitu saja oleh pemerintah.
Para peneliti yang berasal dari Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP), Earth Observatory Singapore Nanyang Technological University (EOS-NTU), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kembali mengingatkan kita semua, ancaman gempa tidak akan lepas dari Indonesia.
Dikutip dari Declaration of Participants in the International Conference on the Sumatran Earthquake Challenge yang menghasilkan Deklarasi Padang pada 2005 lalu, ancaman gempa itu disebut megathrust. Sumatra dan Kepulauan Mentawai berada pada Jalur Subduksi Sunda, yaitu pertemuan antara Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Benua Eurasia.
Masih berdasarkan Deklarasi Padang, para peneliti berpendapat seismic gap pada zona megathrust Mentawai masih menyimpan potensi gempa mulai dari satu hingga sembilan SR. Kawasan ini, pernah mengalami gempa besar dengan periode ulang selama 200 - 300 tahun.
Tepatnya pada 1797 di wilayah Siberut dengan kekuatan 8,7 – 8,9 SR. Kemudian pada 1883 di wilayah Sipora dengan kekuatan 8,9 – 9,1 SR.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Sumatra Barat (Sumbar) Ade Edward mendesak, pemerintah tidak mengabaikan pengecekan ulang ini. Sebelumnya, kata dia, penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), BRKP-DKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bakosurtanal, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas lainnya di Indonesia.
"Makanya, penelitian ini sejenis eksplorasi kondisi kebumian di sana. Potensi ancaman Pagai, Siberut, sudah sejak lama diketahui," tutur Ade di Kantor BPBD Provinsi Sumbar, Kamis (25/6).
Namun, ia melanjutkan, selama ini hasil riset masih dimanfaatkan secara terbatas. Hasil penelitian, masih kurang tersosialisasi. Banyak orang baru menyadari pentingnya riset setelah adanya gempa Aceh pada 2004. Ternyata, gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh sudah ada dalam hasil riset. Menurut Ade, adanya hasil riset harus dikembangkan.
"Penting adalah bagi masyarakat tentang kesimpulan riset ini yang perlu, berupa mitigasi, agar kerugian tak besar," ujarnya.
Ade mengatakan, setiap peneliti pasti mempunyai kekhawatiran tersendiri ihwan hasil risetnya. Namun, hasil riset merupakan kunci bagaimana kekhawatiran para peneliti tidak berdampak. "Ini tak bisa diredam, tapi gempa tidak bisa ditahan," kata Ade.
Pemerintah daerah (pemda) setempat, ujar dia, harus menindaklanjuti riset ini dengan program mitigasi. Jangan menunggu nanti. Jangan sampai pemerintah terlambat seperti yang terjadi di Nepal. "Pemerintah Nepal mengakui terlambat (menindaklanjuti hasil riset). Makanya, riset ini sudah disampaikan ke gubernur, mahasiswa, pemerinta pusat," tuturnya.
Ade menuturkan, riset kegempaan dan tsunami terlengkap di dunia berada di kawasan Mentawai. Mana saja zona-zonanya, berapa besaran kekuatan gempa, di mana saja yang membangkitkan, sudah ada modelnya berdasarkan riset. Yang tidak diketahui oleh para peneliti adalah kapan waktu terjadinya.
Menurutnya, selama ini Mentawai megathrust selalu menjadi objek riset. Riset kebumian yang tidak pernah berakhir. Namun, Ade menegaskan, ketika sudah diketahui ancamannya, maka mitigasi segera dilaksanakan.
Dikatakannya, riset kebumian yang dilakukan para peneliti ini, tidak hanya untuk mencari potensi bencana. Namun, dapat diketahui pula riset migas, bahan tambang, jebakan migas.
"Peran pemerintah adalah memegang kebijakan, memutuskan. Peneliti memberikan rekomendasi. Riset ini sudah mengetahui potensi kegempaan, tujuannya, agar salah satu hasilnya ditindaklanjuti," imbuh Ade.