Sabtu 27 Jun 2015 07:40 WIB

LPSK Imbau Korban Penyiksaan Jangan Segan Melapor

Ketua Lembaga Perlindunghan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, berbicara saat mengunjungi kantor Redaksi Republika di Jakarta, Kamis (11/6).
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Ketua Lembaga Perlindunghan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, berbicara saat mengunjungi kantor Redaksi Republika di Jakarta, Kamis (11/6).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para korban penyiksaan diminta tidak segan meminta perlindungan maupun bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sebaiknya dihindari tindakan-tindakan yang masuk kategori penyiksaan untuk mendapatkan keterangan, baik dari pelaku, saksi maupun korban,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam rilisnya, Sabtu (27/6).

Selain itu, LPSK juga mengimbau kepada para pendamping korban untuk dapat memanfaatkan amanat Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seperti telah disempurnakan melalui UU No 31 Tahun 2014.

Ada banyak alasan LPSK memprioritaskan kasus penyiksaan. Menurut Semendawai, kasus penyiksaan menjadi prioritas karena kejahatan ini adalah kejahatan yang luar biasa. Kejahatan ini juga masuk kategori jus cogens.

Maksudnya, sebagai prinsip dasar hukum internasional yang diakui komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.

Pada UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kata Semendawai, memang hanya memandatkan tindak pidana tertentu sebagai prioritas.

Meski demikian, LPSK telah menangani sejumlah korban penyiksaan yang sesuai dengan definisi Konvensi Anti Penyiksaan, meskipun di dalam penegakan hukum disebut sebagai penganiayaan ringan/berat, atau penganiayaan yang menyebabkan matinya orang atau pengeroyokan secara bersama-sama.

Secara komitmen, LPSK telah mencoba memosisikan sebagai lembaga yang memberikan  perlindungan serta layanan terhadap saksi dan korban penyiksaan,” kata Semendawai.

Namun, karena tindak pidana penyiksaan belum dikenal dalam hukum pidana positif, sehingga ketentuan itu, kata Semendawai, harus ditafsirkan.

Misalnya, apabila seseorang itu menjadi korban penganiayaan, atau apabila pelaku penganiayaan adalah aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum, atau bisa pula penganiayaan itu dimaksudkan untuk mengejar pengakuan atau memperoleh pengakuan guna pembuktian.

Seperti diketahui, tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti Penyiksaan Internasional.  Pada hari itu diciptakan Konvensi Anti Penyiksaan.

Pasal 2 konvensi ini menyebutkan, setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah yurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement