REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tepat di gapura arah makam Sunan Ampel, berdiri sesosok pria bersama anaknya yang usia sepertinya baru menginjak belasan tahun, berjalan dan sesekali menghentikan langkahnya.
Dia adalah Zeid Muhammad, atau sehari-harinya akrab disapa Gus Zeid, yang saat ini juga tercatat sebagai sejarawan Sunan Ampel dan pengurus Masjid Agung.
Sembari menunjukkan makam Sunan Ampel dan keluarga serta santri-santrinya, pria berwajah Timur Tengah itu menjelaskan bahwa Sunan Ampel adalah sosok ulama yang merupakan keturunan dari seorang ayah yang lahir di Samarkand, salah satu negara di kawasan Asia Tengah atau tidak jauh dari Uzbekistan dan Kazakhstan.
"Ibunya adalah Dewi Chandrawulan, yakni putri dari raja Champa, salah satu negeri di kawasan Asia Tenggara. Sunan Ampel datang memenuhi tugas kemanusiaan di Tanah Jawa atas permintaan bibinya (adik ibunya), yang merupakan istri dari Raden Prabu Kertawidjaja," ucapnya.
Memiliki nama asli Sayyid Ali Rahmatullah atau akrab disapa Raden Rahmatullah, lahir di negeri ibunya pada 1401 Masehi. Alasan Sunan Ampel dihadirkan di Jawa, kata dia, karena Sunan Ampel diyakini mampu mengubah dari satu kultur pada zaman dulu, ketika terjadi degradasi moral yang tidak jauh beda dengan zaman jahiliyah karena marak pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan sebagainya.
Pertama kali menginjakkan kaki di Jawa, Sunan Ampel mengevaluasi apa yang menjadi langkah Syaikh Jamalluddin sebelumnya. Sunan Ampel dalam dakwahnya tidak memaksa rakyat untuk kembali ke Islam, namun dilalui dengan menyentuh masyarakat dan bersosialisasi sekaligus membangun budi pekerti luhur.
"Awal yang memperbaiki dan membuat satu kemajuan yakni Sunan Ampel tidak mengajak ikut masuk agama, tapi memperbaiki budi pekerti dengan visi," tukasnya.
Sebagai seorang ulama yang giat berdakwah, Sunan Ampel mempunyai ajaran yang terkenal dengan sebutan "molimo". "Mo" berarti tidak mau, sedangkan limo adalah lima perkara, jadi "molimo" adalah tidak mau melakukan lima perkara yang terlarang.
Kelima ajaran Sunan Ampel itu adalah, "Emoh Main" (tidak mau main judi), "Emoh Ngumbi" (tidak mau minum-minuman yang memabukkan), "Emoh Madat" (tidak mau mengisap candu atau ganja), "Emoh Maling" (tidak mau mencuri atau kolusi) dan "Emoh Madon" (tidak mau main perempuan yang bukan istrinya/zina).
Lima perkara itu yang selalu dijadikan satu pegangan, hingga pada akhirnya Sunan Ampel membuat istilah lagi membangun budi pekerti luhur, karena ketika sudah dibangun budi pekertinya maka akan memiliki sopan santun, tata krama dan perilaku indah.