Dari mobilitas dakwahnya ini, kepercayaan masyarakatpun mulai tumbuh. Pengajian ibu-ibu yang telah lama mati suri, kini kembali semarak lagi. TPA-TPA dibuka sebagai wadah membina tunas muda. Dan yang cukup membanggakan, tidak sedikit dari para pemuda telah berpindah haluan, yang awalnya suka dugem, sekarang lebih doyan ke masjid dan membantu kegiatan-kegiatan pesantren.
Bukan tanpa rintangan Syarif menjalankan dakwahnya. Ia mengakui bahwa perjalanannya tak luput dari ancaman dari mereka yang kurang berkenan dengan kiprahnya. Pernah suatu hari, usai menghadiri suatu acara di kampung, ia didatangi oleh seorang laki-laki paru baya dan spontanitas melempar ancaman kepada Syarif. Si preman itu meminta agar anak bungsu dari lima bersaudara ini menghentikan kegiatan dakwahnya.
“Dia mengancam akan membunuh saya dengan memperlihatkan pistol di tangannya, kalau sampai saya tidak menghentikan dakwah yang saya lakukan,” ungkapnya.
Selidik punya selidik, ternyata laki-laki itu gusar kepada Syarif karena banyak teman-temannya yang telah insyaf. Laki-laki ini merasa kesepian karena tidak banyak lagi sahabat-sahabat berkumpul untuk berpesta pora dengan minum-minuman keras. Ia juga sering diintimidasi. Terkadang genteng rumah dilempari dengan batu.Tak sedikit pula barang-barang pesantren raib tak tahu ke mana. Meski demikian sukarnya ujian, pemilik hobi membaca buku ini bersikukuh untuk terus bertahan.
“Inikan sudah menjadi konsekuensi dakwah”, tegasnya.
Untuk lebih melancarkan proses dakwahnya, Syarif mengharap bantuan dari para dermawan. Ia mengakui batu kurangnya dukungan finansial. Ia mengutarakan banyak kegiatan yang telah direncanakan harus terputus di tengah jalan, karena kurangnya sokongan dana.
“Kami berharap kepada para muzakki untuk turut aktif menghidupkan dakwah di sini dengan menyalurkan sebagian dari rizki mereka,” harapnya.