REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sebuah tim peneliti geologi dari Amerika Serikat, Inggris dan Australia mengatakan pemicu munculnya lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah eksplorasi gas, bukan gempa.
Para geolog itu menghidupkan kembali perdebatan tentang apakah alam atau manusia yang salah dalam letusan dahsyat sembilan tahun lalu, Senin (29/6). Hingga kini gunung berapi lumpur di Sidoarjo masih mengeluarkan lumpurnya.
"Secara keseluruhan, data kami sangat mendukung pemicunya perbuatan manusia," kata penulis bersama peneliti Mark Tingay dari Universitas Adelaide dalam sebuah pernyataan.
Gunung Lumpur Sidoarjo (Lusi) meletus pada 29 Mei 2006, di tengah daerah persawahan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur panas ini telah menghancurkan banyak desa, pabrik, toko, dan jalan raya.
Sebanyak 12 orang tewas dan sekitar 40 ribu orang mengungsi. Lusi terus menyemburkan lumpur pada tingkat sekitar 30-60 ribu metes kubik per hari atau setara dengan 12-24 kolam renang ukuran Olimpiade berisi lumpur.
Lebih dari 6,5 kilometer persegi wilayah Sidoarjo terkubur lumpur hingga kedalaman 40 meter. Kerugian diperkirakan mencapai lebih dari 2,7 miliar dolar AS (2,4 miliar euro).
Pemerintah Indonesia telah mendirikan tanggul sekitar 20 kilometer setinggi sekitar 10 meter. Studi sebelumnya telah bergantian menyalahkan antara gempa bumi Yogyakarta 6,3 skala richter yang terjadi dua hari sebelum terjadi semburan lumpur dan sumur gas Banjar Panji hanya 150 meter dari kawah utama gunung berapi lumpur.
Perusahaan minyak dan gas Indonesia, Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran waktu itu bersikeras dalam lamannya penyelidikan tidak menemukan bukti yang menghubungkan kegiatan pengeboran dengan letusan. Perusahaan tersebut tidak dapat dimintai komentar.
Penelitian terbaru ini bertentangan dengan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal yang sama dua tahun lalu, yang menyalahkan gempa untuk ledakan lumpur Sidoarjo.
"Kami berharap ini menutup perdebatan tentang apakah gempa bumi menyebabkan bencana unik ini," tambah Tingay.