Selasa 30 Jun 2015 19:44 WIB

Ketentuan Mengganti Shalat Usai Haid dan Nifas (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Indah Wulandari
Wanita haid (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron/ca
Wanita haid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masa haid dan nifas adalah masa dilarang untuk melakukan shalat. Hikmahnya, gerakan shalat bisa menimbulkan masyaqqah (masalah) bagi wanita yang tengah haid.

Misalkan, posisi sujud dan ruku’ bisa membuat darah kotor mengalir turun kembali ke rahim. Wanita haid dan nifas juga disarankan tidak melakukan aktivitas dan olahraga berat.

Keistimewaan lagi bagi wanita, mereka tak perlu pula mengqadha (mengganti) shalat setelah mereka suci. Hal ini sebagaimana ditetapkan Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Berbeda dengan kalangan khawarij (kaum yang menyimpang dari ajaran Islam) yang mewajibkan kaum wanitanya mengganti shalat.

Hal ini diterangkan dalam hadis Aisyah RA. Mu’adzah mengatakan, ia pernah bertanya kepada Aisyah RA tetang persoalan mengqadha shalat bagi wanita haid dan nifas. Aisyah RA lantas bertanya, apakah ia termasuk orang haruriyyah? (orang dari Harura, sebuah kampung di pinggir kota Kufah yang menjadi tempat berkumpulnya generasi awal kaum khawarij).

Mu'azah menjawab, "Aku bukan orang haruriyyah tetapi aku hanya bertanya. Aisyah RA pun menjelaskan, hal tersebut pernah dia tanyakan kepada Rasulullah SAW. "Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tetapi tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat." (HR Muslim).

Hadis lain yang lebih menguatkan seperti yang disebutkan Aisyah RA, "Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha (haid), maka Rasulullah SAW bersabda, "Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu janganlah shalat. Bila sudah selesai maka berwudhu'lah dan lakukan shalat." (HR Abu Daud dan An-Nasai).

Kendati tidak mengqadha shalat yang ditinggalkan semasa haid atau nifas, perlu diperhatikan dalam beberapa kondisi. Mazhab Syafi'iyah yang banyak dipakai dalam hal ini merinci kondisi-kondisi wanita yang haid.

Gugurnya kewajiban shalat hanya jika wanita haid berada penuh dalam waktu shalat. Bagaimana jika hanya mengalami haid pada sebagian waktu shalat saja? Misalkan, haid baru datang setelah pertengahan waktu shalat. Atau haid selesai sedangkan waktu shalat masih tersisa.

Mazhab Syafi'iyah berpendapat, dalam kondisi ini wajib bagi wanita untuk melaksanakan shalat. Jika wanita telah berakhir masa haidnya sedangkan waktu shalat masih tersisa, maka ia wajib bersuci kemudian shalat. Hal ini disebabkan adanya durasi waktu di mana ia berada dalam keadaan suci.

Misalkan, ketika masuk waktu zhuhur seorang wanita masih dalam keadaan haidh. Namun, pukul 14.00 dipastikan darah haidhnya telah berhenti mengalir. Berarti dia telah suci dan waktu shalat Dhuhur masih ada. Maka harus segera mandi wajib dan melaksanakan shalat Dhuhur.

Demikian pula kondisinya bila wanita yang melewati waktu shalat dalam kondisi suci. Ketika masuk waktu shalat, ia sedang dalam kondisi tertentu yang belum memungkinkannya untuk segera melaksanakan shalat. Misalkan, dalam perjalanan atau uzur-uzur lainnya. Namun menjelang waktu shalat tersebut habis, darah haidnya sudah keluar.

Dalam hal ini, ia meng-qadha (mengganti) shalatnya tersebut setelah ia suci dari haid. Kewajiban shalatnya tidak gugur, karena ia ada dalam keadaan suci di waktu shalat. Wanita tetap diwajibkan mengganti shalat yang terlewat, meski pada sebagian waktunya berada dalam keadaan haid.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement