REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia, Beji Caid Essebsi mengumumkan keadaan darurat negaranya pada Sabtu (4/7), sepekan setelah serangan seorang pemuda bersenjata terhadap sejumlah turis asing di Pantai Sousse yang menewaskan 38 orang.
"Karena resiko terorisme, dan konteks regional, dan penyebaran terorisme, kami telah mengumumkan keadaan darurat," kata Essebsi dalam pernyataan pidato di televisi, dilansir Reuters.
Essebsi menambahkan, ancaman terus dihadapi Tunisia, setelah Arab Spring pada tahun 2011 yang membuat Tunisia harus mengambil keputusan tersebut. Tunisia telah menghadapi gelombang kekerasan sejak revolusi di mana puluhan polisi dan tentara tewas.
Menurut Penasihat Komunikasi Perdana Menteri,Tunisia, Dhafer Neji, pernyataan status darurat ini diumumkan setelah pemecatan sejumlah pejabat tinggi Tunisia, termasuk Gubernur Sousse. "Sama halnya ketika terjadi kegagalan dalam sektor keamanan, maka dipastikan terdapat kegagalan politik," ujar Neji.
Sebelumnya, Tunisia juga pernah memberlakukan status darurat sejak lama saat pemerintahan Presiden Zine El Abidine Ben Ali dan dicabut pada Maret 2014.
Sementara itu, Perdana Menteri Habib Essid mengakui, polisi terlalu lama menanggapi serangan pekan lalu yang dilakukan oleh Seifeddine Rezgui (23 Tahun). Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pun mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris, David Cameron mengatakan akan membangun sebuah monumen untuk mengenang setiap warga Inggris yang tewas di luar negeri, khususnya bagi korban pembantaian di Tunisia.