Oleh: Triwik Kurniasari, kandidat master jurusan Communication and Development Studies, Ohio University.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Yustika Sari, mahasiswi jurusan linguistik OU yang lulus Mei 2015 lalu, juga mengalami dehidrasi saat bepuasa pertama kali di AS. “Saat itu puasa pertama tahun 2013 ketika sedang mengikuti pre-academic training di Tucson, Arizona. Butuh adaptasi karena waktu puasa lama. Suhu juga sangat panas, sekitar 40 derajat Celsius. Saya sempat dehidrasi dan mimisan. Tapi puasa jalan terus,” ujarnya.
Selain hawa panas dan durasi puasa yang panjang, waktu tidur Muslim Indonesia yang berpuasa di AS pun lebih sedikit. Waktu salat Isha, misalnya, sekitar pukul 22.00. Bagi yang menjalankan salat tarawih di masjid, salat biasanya dimulai sekitar pukul 22.30 dan selesai hampir tengah malam.
Untuk tarawih, Yearry lebih memilih melakukannya di rumah daripada di masjid karena kendala waktu. “Saat summer, kadang saya ada kuliah. Capek. Apalagi seharian puasa. Jadi saya lebih memilih salat tarawih di rumah,” jelas Yearry.
Sementara itu, demi mengikuti selera makan yang tetap Indonesia, Yearry dan sang istri lebih memilih memasak di rumah. Untuk sahur, salah satu menu favorit Yearry adalah mi instan dan telur. Alasannya? Cepat dan praktis.
Yearry terkadang berbuka puasa bersama komunitas Muslim Athens di Islamic Center yang berlokasi di kampus OU. Komunitas Muslim tersebut mengadakan acara buka bersama setiap Jumat, Sabtu dan Ahad.
Perwakilan dari sejumlah negara biasanya menyumbang makanan untuk buka puasa. Komunitas Indonesia di Athens, misalnya, pernah bekerja sama dengan komunitas mahasiswa Malaysia untuk menyediakan hidangan.
Lantas, apakah hal yang paling dirindukan Muslim Indonesia saat berpuasa di negeri orang? “Ngabuburit [kegiatan sembari menunggu buka puasa]. Kangen suasana menunggu azan Magrib di rumah. Kalau di Ohio, ngabuburit ya di Alden Library,” kata Yearry.
Hal yang sama diungkapkan Yustika. “Kangen suasana ngabuburit bareng teman-teman, cari makanan buat buka,” kata Yustika yang berasal dari Malang, Jawa Timur.
Selain berbagi suka duka selama bulan Ramadan, mereka juga bercerita tentang pengalaman merayakan Idul Fitri di AS. Yustika bercerita, tradisi ber-Lebaran di Athens, misalnya, dimulai dengan salat Idul Fitri sekitar pukul 7.00.
“Banyak orang yang menyumbang bingkisan berupa makanan seperti kue-kue, permen, kurma, dan masakan yang mengandung daging dan ayam. Di masjid juga banyak bertemu komunitas muslim dari berbagai negara,” ujar Yustika.
Setelah di masjid, Yustika berkunjung ke rumah para sesepuh atau Muslim Indonesia yang telah lama berdomisili di Athens. “Mereka biasanya mengadakan acara open house jam 10.00-an. Kami dijamu makanan khas Lebaran seperti lontong, opor ayam, dan rendang,” tambah Yustika.
Hal yang sama diungkapkan Yearry. Saat ber-Lebaran pertama kali di Athens, setelah salat Idul Fitri, Yearry berkunjung ke komunitas Muslim Malaysia. “Tahun kedua, kami bikin acara di apartemen dan mengundang teman-teman. Kami masak opor ayam, gulai, dan rendang. Kami ingin menciptakan suasana Lebaran seperti di Indonesia,” ujar Yearry.
Rindu dengan keluarga di Indonesia? Tentu. Namun, para sahabat dan hidangan khas Indonesia dapat mengobati rasa rindu Nana, Yustika dan Yearry akan suasana Ramadan dan Idul Fitri di Tanah Air.