REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsultan properti Colliers International menyatakan berbagai perkantoran di CBD atau sentrabisnis di wilayah DKI Jakarta pada saat ini mulai beralih menggunakan rupiah sejak ada peraturan Bank Indonesia untuk menggunakan rupiah.
"Pada 2014 sekitar 30 persen gedung-gedung perkantoran masih menggunakan tarif sewa dolar AS. Dengan peraturan BI terakhir jumlah itu berkurang drastis," kata Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/7).
Menurut Ferry, saat ini masih ada yang menggunakan sewa kombinasi (rupiah dan dolar AS) tetapi gedung yang hanya tarif perawatan dengan dolar AS juga berkurang. Dengan adanya konversi mata uang penyewaan perkantoran dari dolar AS ke rupiah, ujar dia, juga membuat tren sewa dengan menggunakan mata uang rupiah di kawasan CBD juga meningkat.
Sedangkan gedung yang menggunakan mata uang dolar AS juga sudah mulai menurunkan tarif sewa terutama pada gedung-gedung perkantoran yang tarif sewanya dinilai sudah terlalu tinggi.
Ia berpendapat bahwa dengan kebijakan mewajibkan penggunaan mata uang rupiah, subsektor properti yang paling berat terkena dampak adalah perkantoran. Selain itu, lanjutnya, kebijakan tersebut juga dinilai akan membuat pembangunan gedung perkantoran baru lebih berisiko untuk pengembang.
"Sehingga dengan hitung-hitungan yang ada tidak masuk akal lagi untuk membangun gedung baru," kata Ferry Salanto.
Namun, ujar dia, dengan banyaknya pasokan perkantoran untuk beberapa tahun mendatang, maka secara logika minat membangun gedung perkantoran yang menurun itu juga bisa menetralisir kondisi suplai yang masih banyak ke depannya. Menurut dia, dampak kewajiban penggunaan mata uang rupiah untuk subsektor lain seperti ritel dan industri efeknya tidak terlalu banyak.
"Untuk aparteman dampaknya tidak terlalu kelihatan, kecuali untuk service apartemen yang masih memasang taraf dengan dolar AS atau rumah-rumah ekspatriat yang memasang tarif dengan dolar AS," ujarnya.