REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA -- Sebelum masuk Islam, Tanya merasa hidupnya sangat sporadis. Ibunya berasal dari Kanada, sedangkan ayahnya seorang pria kulit hitam yang tidak ia kenal.
Tanya sempat tinggal bersama ibunya sewaktu kecil. Tapi, mereka berdua tidak memiliki kecocokan sampai Tanya terpaksa tinggal di jalanan selama beberapa bulan.
Dilansir dari Onislam.net, Rabu (8/7), gadis itu kemudian menemukan rumah singgah. Ia telah menempati tiga rumah singgah yang berbeda sebelum rumah terakhir yang ia tempati selama enam tahun terakhir. Ia tinggal sendirian, tanpa ayah, ibu, atau saudara.
Dalam kegersangan hidup itu, Tanya mencari kedamaian di Gereja Pantekosta. Ia mengenal kekristenan dari ibunya. Perempuan Kanada itu juga beragama Kristen. Meski tidak memiliki latar belakang agama yang kuat, setiap minggu Tanya berangkat ke gereja. Ia bertekad mendapatkan pendidikan spiritual yang tidak dia temukan di rumah.
Guru sekolah minggunya menceritakan ketuhanan Yesus dengan teori telur klasik. Telur tersusun atas tiga komponen; cangkang, kuning telur, dan putih telur. Jika salah satunya hilang, telur itu tidak akan lengkap. Yesus, Bapa, dan Roh Kudus, dengan cara itulah trinitas dijelaskan. Tanya paham, meski merasa ada sesuatu yang kurang dalam penjelasan itu.
Sebenarnya, Tanya pernah dekat dengan gereja ketika masih kecil. Seperti kebanyakan remaja, ia menyimpang dari gereja di usia belasan tahun. Saat itu, ia mulai benar-benar mempertanyakan segala sesuatu tentang kehidupan.
Ketika Tanya masuk sekolah menengah, ia bertemu seorang Muslim. Mereka berdiskusi soal agama. Tanya mencoba menjelaskan Kristen, sebaliknya Muslim itu menjelaskan Islam. Kawannya itu lantas menyangkal beberapa prinsip kekristenan yang Tanya kemukakan. Itu membuatnya sangat terpukul.
Tanya menolak terpengaruh opini pria Muslim itu. Ia ingin menemukan pegangan sendiri. Jadi, ia mulai pergi ke perpustakaan dan membaca buku-buku agama. Islam, Kristen, Katolik, semua agama ia baca. Saat itulah, ia merasa pintu mulai terbuka.
Poin penting yang membuat Tanya tertarik pada Islam adalah keindahan ajaran Islam. Ia tidak pernah terpengaruh pada opini negatif media. Ketika membaca buku-buku Islam, ia menemukan oase yang selama ini ia cari. Ia telah melewati masa-masa tidak menyenangkan dan hidup tanpa arah tujuan. Sekarang, ia menemukan cahaya dalam naungan Islam.
Tapi, Tanya juga sempat mengalami kegalauan. Ia pernah berjalan tanpa arah sambil menangis dengan benak penuh pertanyaan. "Tolong jawab saya, beri saya arah, beri pijakan, beri saya pegangan. Saya merasa hilang," kata ia seperti orang putus asa.
Alhamdulillah, setelah dua hari dalam kegalauan, ia menemukan secercah cahaya. Kala itu, Tanya tengah berada di kelas matematika. Ia sedang membaca buku ketika semua itu meletup-letup di kepalanya. Dipenuhi air mata suka cita, ia hanya bisa berkata, “Ini dia! Aku menemukannya.”
Gadis itu kemudian berlari keluar. Guru yang tengah mengajar sampai memanggilnya. “Tanya, kemana kamu mau pergi?” Tanya tidak menanggapi. Seolah tidak ada kosakata apapun di otaknya. Ia langsung berlari menuju kamar mandi dan membasuh wajah.
Pada saat yang sama, ia melihat seorang siswa yang mengenakan hijab. Tanya menghampiri siswa itu dan bertanya. “Apakah kamu seorang Muslim?” Gadis berhijab itu mengiyakan. “Saya perlu bicara denganmu karena saya pikir saya juga Muslim,” kata Tanya.
Gadis itu kemudian mengajak Tanya bertemu keluarganya. Dengan tangan terbuka, mereka menyambut Tanya di rumah. Mereka memberinya pakaian, buku-buku, makanan, dan segala sesuatu penuh keramahan.
Akhirnya, keluarga itu mengajak Tanya ke masjid. Di tempat itulah, Tanya mengucapkan syahadat ditemani keluarga teman sekolahnya. La illaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Kalimat persaksian itu hampir-hampir tidak bisa keluar lantaran kebahagiaan Tanya yang begitu meluap.
Kini, gadis keturunan Kanada itu mengaku hidupnya benar-benar berubah. Ia tahu untuk apa ia hidup di dunia.