REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peningkatan kemampuan guru agama Islam dapat mencegah remaja siswa SMP dan SMA menjadi bibit teroris.
Sebab ketidakpuasan terhadap guru agama Islam dalam menjawab pertanyaan siswa di kelas, membuat siswa mencari jawaban kepada mentor agama Islam di luar sekolah.
"Celakanya, mentor agama Islam di luar sekolah termasuk kelompok radikal. Ini yang membuat remaja berubah menjadi bibit radikal," kata Hairus Salim dari Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (YLKIS) Yogyakarta pada Workshop Peran Tokoh Agama dalam Pencegahan Teroisme di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (9/7).
Dijelaskan Hairus Salim, guru agama Islam di sekolah-sekolah merupakan pegawai negeri sipil (PNS). Kebanyakan mereka bekerja hanya untuk memenuhi persyaratan PNS.
Hal ini yang membuat remaja sering tidak puas terhadap jawaban-jawaban guru agama Islam saat bertanya tentang agama Islam yang lebih mendalam.
Karena itu, Hairus Salim mengusulkan agar pemerintah meningkatkan kemampuan guru agama Islam dalam penguasaan agama Islam. Selain itu, mentor-mentor agama Islam yang membantu sekolah juga diberi bekal agar remaja tidak menjadi bibit teroris.
Suhadi, Guru Agama Islam di SMA 6 Yogyakarta mengakui jika pendidikan agama Islam di sekolahnya dibantu mentor-mentor dari luar sekolah. "Tetapi guru mendampingi dan membuatkan modulnya," kata Suhadi.
Sedangkan mentor, kata Suhadi, diambilkan dari alumni SMA 6 Yogyakarta. Mereka yang dipilih jadi mentor agama Islam yang sudah menjadi mahasiswa dan memiliki kemampuan agama Islam yang memadahi.
Sementara Nia Karnia, dari Ponpes Nurul Haq mengungkapkan jika guru agama Islam memiliki peranan untuk membentuk karakter siswa. Namun pelajaran agama Islam yang hanya dua jam pelajaran dinilainya tidak cukup.
Sehingga para siswa atas inisiatif sendiri mencari mentor agama Islam di luar sekolah untuk meningkatkan pemahanan tentang agama Islam seperti fiqih, dan akidah. "Sistem pendidikan agama Islam kita salah. Dan ini membuka peluang remaja untuk menjadi radikal," kata Nia.