REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Dalam konteks pembinaan umat beragama, terlebih untuk alam Indonesia, rumah ibadat memiliki peran yang sangat strategis. Bahkan sejak kedatangan agama-agama dunia ke nusantara, rumah ibadat telah menjadi episentrum. Itulah alasan ada ketidakrelaan rumah ibadat disepadankan dengan ‘seperti’ sekolah, kantor, atau balai pertemuan. Rumah ibadat berkenaan dengan yang suci dan sakral. Selalu seperti itu.
Henri Lefebvre (1971) mengartikan ruang sakral dengan istilah second nature (alam kedua) di mana kondisi obyektif yang dimaknai secara sosial dan historis sebagai tempat suci. Tidak berlebihan akhirnya, kalangan tradisional akan memperlakukannya sebagai fetishism of space. Bagi mereka, rumah ibadat nyaris tidak memiliki peluang untuk aktivitas non ibadat.
Namun dalam perkembangannya, rumah ibadat kini juga semakin terbuka bagi aktivitas non ibadat, terutama untuk memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup jasmani dan rohani. Semangat ini dapat dijumpai, misalnya dalam Muktamar DMI IV yang salah satu keputusannya menyatakan peran dan fungsi masjid selain sebagai pusat ibadat, juga tempat ber-muamalah, pemberdayaan dan persatuan umat, meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia, kecerdasan umat, tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT dalam wilayah NKRI.
Sementara bagi umat Kristiani, gereja tidak hanya dipahami sebatas gereja para imam yang sibuk dengan ritual, melainkan juga gereja para nabi yang peka terhadap masalah-masalah sosial. Bahkan konteks panggilan gereja kini tercakup dalam tiga agenda pokok gereja di dalam dunia, yaitu menegakkan keadilan, mewujudkan perdamaian, dan memajukan kesejahteraan dalam dan bagi seluruh masyarakat.
selanjutnya Bagaimana dengan agama-agama lainnya?...