REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Formalin atau formaldehid jamak diketahui sebagai bahan kimia berbahaya. Baru-baru ini, peneliti menemukan orang yang sering 'berinteraksi' dengan formalin memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit syaraf. Dilansir dari laman The Independent, penelitian ini mengambil sampel orang yang bekerja pada pengawetan mayat di Inggris. Dari penelitian, peneliti menyimpulkan orang yang sering beinteraksi dengan formalin memiliki risiko tiga kali lebih tinggi tekena penyakit syaraf. Sebagaimana diketahui, formalin digunakan sebagai zat untuk mengawetkan mayat.
Penyakit syaraf yang dimaksud yaitu amyotropic lateral sclerosis (ALS) atau lebih umum dikenal sebagai penyakit motor neuron disease (MND). Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal neurologi dan psyciatri menyebutkan, direktur pemakaman atau orang yang bekerja mengawetkan mayat tiga kali lebih mungkin untuk meninggal karena penyakit otak yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit ini mengarah kepada gejala kelumpuhan fatal. Formalin mengganggu protein yang ada di otak dan menyebabkan kerusakan yang bersifat oksidatif.
Dalam hasil penelitian, pria yang mbekerja dengan eksposur formaldehid memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kematian kaena ALS. Peneliti tidak menemukan peningkatan risiko pada perempuan.
"Hasil kami harus ditafsirkan dengan hati-hati. Pekerjaan yang menyebabkan probabilitas tinggi dan intensitas tinggi terhadap formalin relatif jarang di Amerika Serikat, ALS juga jarang, hanya ada dua kematian ALS antara laki-laki dalam pekerjaan tersebut," kata laporan ini.
Menanggapi temuan ini, Kepala riset Asosiasi Penyakit Neuron Belinda Cupid mengatakan riset ini merupakan kali pertama formalin diidentifikasi sebagai kemungkinan penyakit MND. Menurut dia, diperlukan studi lebih lanjut untuk mengkonfirmasi publikasi riset ini.
Federasi Nasional Pemakaman juga meminta penelitian lebih lanjut mengenai dugaan ini. Hal ini perlu dilakukan untuk menyelidiki lebih lanjut apakah hasil riset ini akan menjadi risiko pekerjaan atau tidak. Karena, angka kematian terlalu kecil untuk mencapai kesimpulan yang signifikan.