REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembakaran masjid di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, kemarin (17/7) merupakan insiden yang menciderai kesucian Idul Fitri. Peristiwa ini juga mencerminkan, toleransi antarumat beragama masih belum kuat. Sebab, diketahui, amuk massa di Karubaga kemarin didukung oleh sekelompok oknum umat Nasrani.
Terkait itu, imam Masjid New York, Amerika Serikat (AS), Imam Shamsi Ali mengatakan, insiden ini merupakan salah satu bukti bahwa umat Islam pun rentan disakiti bahkan di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Karena itu, dia meminta pemerintah Indonesia agar serius menyelesaikan persoalan ini secara adil dan sesuai koridor hukum.
"Tentu yang paling penting ini adalah tamparan keras kepada pemerintah, khususnya pihak pengamanan," kata Imam Shamsi Ali dalam rilis yang diterima Republika, Sabtu (18/7).
Presiden Nusantara Foundation ini melanjutkan, insiden Idul Fitri di Karubaga ini juga merupakan bahan introspeksi bagi pegiat hak asasi manusia (HAM) ala Barat.
Di dunia Barat, kata Imam Shamsi, slogan HAM dan toleransi menjadi menu utama dan sekaligus senjata ampuh untuk menekan negara-negara yang tidak menghormati hak-hak non-Muslim. Sementara, negara-negara Islam kerap dituding tidak toleran karena mempersempit ruang gerak umat agama lain.
Imam Shamsi melanjutkan, insiden Karubaga kemarin jelas-jelas menunjukkan, umat non-Muslim pun bisa saja bersikap tak toleran di negara yang mayoritas Muslim.
"Maka peristiwa yang menimpa saudara-saudara Muslim kita di Papua itu merupakan tamparan keras bagi umat Kristiani umumnya, dan pejuang HAM dan toleransi di dunia barat khususnya," ucap Imam Shamsi.
Cara terbaik untuk menyelesaikan atau mengurangi dampak buruk peristiwa seperti ini adalah mengintensifkan dialog. Menurut Imam Shamsi, perlu ditemukan kepentingan bersama (common interest) antarumat beragama sehingga sikap toleransi dapat terjaga.