REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Per 16 Juli pekan lalu, pemerintah mulai menerapkan Crude Palm Oil (CPO) supporting fund atau pungutan dana bagi pengusaha yang melakukan ekspor produk sawit dan turunannya ke luar negeri. Direktur Penyaluran Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Dadan Kusdiana menyebutkan, Badan Layanan Umum (BLU) yang memetik pungutan dana telah berhasil menghimpun dana sebesar Rp 21 miliar hanya dalam waktu satu hari dimulainya kebijakan ini.
"Terbukti sudah berhasil. Kita berhasil sudah bisa satu hari pertama bisa Rp 21 Miliar. Jadi sistem bisa jalan," ujar Dadan saat ditemui usai silaturahmi Lebaran di Kementerian ESDM, Rabu (22/7).
Dadan yakin program pungutan dana sawit ini bisa berjalan dengan baik. Dia menyebut, ide ini berangkat dari upaya untuk mendorong produksi bahan bakar nabati di dalam negeri.
Dana pungutan mewajibkan produsen kelapa sawit nasional menyetorkan dana jumlah tertentu ketika melakukan ekspor produknya ke luar negeri. Melalui kebijakan ini, pemerintah mengutip 50 dolar AS per ton untuk ekspor CPO dan 30 dolar AS per ton untuk ekspor produk turunannya (olein), selagi harga sawit dunia di bawah 750 dolar AS per metrik ton.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga tengah mengimplementasikan penyerapan biodiesel 15 persen ke Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar atau disebut B15. Sebelumnya kewajiban penyerapan biodiesel hanya sebesar 10 persen ke solar dalam per liternya.
Meski pungutan dana sudah mulai berjalan, Dadan mengakui sistem yang dijalankan masih belum sempurna. Pasalnya, sistem yang digunakan masih manual sehingga diperlukan penyempurnaan seiring berjalannya waktu.
"Memang belum sempurna. Masih manual. Karena harus mengubah kolom-kolom," ujar Dadan.
Dana sawit ini juga membuat produsen juga kembali terkena Bea Keluar (BK) ekspor CPO dan produk turunan CPO sebesar 7,5 persen sesuai aturan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Namun, besaran BK dikurangi dengan adanya kewajiban pungutan.