REPUBLIKA.CO.ID, PERTH -- Berbagai arsip yang mencatat pola komunikasi pada masa penjajahan Nusantara oleh Belanda menunjukkan pemerintah penjajah memantau secara lekat ibadah haji warga Indonesia.
Profesor Charles Jeurgens dari Universitas Leiden, Belanda membahas temuan tersebut di Universtas Australia Barat (UWA), Perth, Rabu (22/7), dengan menjelaskan pemerintah jajahan khawatir mereka yang pergi haji akan membawa semangat perlawanan terhadap penjajahan.
"Belanda mencoba mengendalikannya," kata Jeurgens.
Pada 1825, Kerajaan Belanda menerapkan biaya 125 gulden untuk izin bepergian ke Tanah Suci. Tapi, kebijakan itu diubah karena Pengadilan Tinggi di Batavia pada 1852 menilai pemungutan biaya izin bepergian melanggar hukum.
Kerajaan Belanda kemudian mengganti kebijakannya pada 1859 dengan penerapan kewajiban surat pernyataan kemampuan finansial dan berbagai tes sepulangnya jamaah berhaji.
"Belanda membuka konsul di Jeddah pada 1872 khusus untuk mengamati peluang munculnya pandangan Pan-Islamic subversion. Konsul itu juga dibuat dengan tujuan untuk melindungi orang-orang Jawa dari pemerasan serta pengawasan penggunaan travel permit," kata Charles.
Banyak pula orang Jawa yang bertahun-tahun memilih untuk tidak langsung pulang ke Indonesia setelah melaksanakan ibadah haji. Muncul inisiatif politik dari Kerajaan Ottoman yang membiayai komite Muslim di Jawa. Ottoman juga membuka konsul di Jawa, mendirikan berbagai sekolah Islam.
Untuk mendapatkan informasi, Belanda memanfaatkan apa yang disebut dengan dragomans alias informan yang merupakan orang Indonesia atau orang Jawa.
Salah satu dragomans adalah Aboe Bakar Djajadiningrat (1854-1914) yang menjadi informan buat Belanda sejak 1885. Ia bertugas melaporkan ibadah haji orang Indonesia kepada Konsul Belanda di Jeddah.