REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Presiden Joko Widodo di Hari Bakti Adhyaksa tentang aparat penegak hukum menjadikan tersangka sebagai 'mesin ATM' bukanlah hal baru. Jokowi dinilai hanya menyampaikan cerita lama dan bicara hal yang sama dari sebelumnya.
"Itu yang disampaikan Jokowi cerita lama dan bicara hal yang sama," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar saat dihubungi, Kamis (23/7).
Menurutnya, berulangnya hal itu menunjukkan lambannya reformasi di Kepolisian dan Kejaksaan yang telah lama didengungkan. Wacana reformasi di tubuh institusi penegak hukum itu sampai saat ini memang belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Zainal mengatakan, reformasi di internal Kepolisian dan Kejaksaan harus meliputi dua aspek, yakni personal dan sistem. Reformasi personal, kata dia, bisa dilakukan Jokowi dengan memilih orang-orang baik dan kapabel untuk ditempatkan di bagian strategis kedua institusi itu.
Sementara reformasi sistem, lanjut dia, bisa dimulai dari proses rekrutmen, pembinaan, mutasi dan lainnya di internal institusi tersebut. Jika kedua aspek itu berjalan, reformasi di institusi penegak hukum akan maksimal dan praktik pemerasan dengan pola 'mesin ATM' akan sulit terjadi.
"Jadi presiden bisa mengambil orang yang baik. Kapolri yang baik, Jaksa Agung yang baik. Tapi kalau tidak mampu reformasi akan berjalan lama," ujar dia.
Sebelumnya, dalam upacara Hari Bakti Adhyaksa di Kejaksaan Agung, Rabu (22/7), Jokowi menyatakan agar aparat penegak hukum tak menjadikan tersangka sebagai 'mesin ATM'. "Saya tidak ingin dengar ada penegak hukum yang menjadikan tersangka sebagai ATM," kata dia.