REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Wakil Presiden Jusuf Kalla membentuk tim pemantau pemutaran kaset-kaset pengajian mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Slamet Effendy Yusuf, misalnya. Ia menilai pembinaan pola pikir dai lebih penting dilakukan untuk mendukung keberhasilan dakwah.
“Benahi dulu mindset dai, supaya para dai memahami Islam secara utuh. Tidak dengan cara mengkafir-kafirkan sesama umat Islam. Itu yang harus dilakukan umat Islam,” kata Slamet Effendy saat berbincang dengan ROL, Kamis (23/7).
Menurut Effendy, di tengah masyarakat banyak yang mengeluhkan mubaligh-mubaligh yang mengkafir-kafirkan sesama Muslim. Kalau dulu mubaligh mengajak orang non-Muslim menjadi Muslim, sekarang sebaliknya. Ada sebagian dai yang mencap tidak Islam untuk orang Islam.
Ia berpendapat, para dai harus memahami umat Muslim tidak satu pandangan. Ada kebhinekaan dalam umat Islam. Ia berharap supaya para mubaligh tidak memaksakan orang lain memahami Islam sebatas yang dipahaminya.
Menurut Effendy, pemikiran semacam itu akhirnya menjadi sumber penyakit, baik bagi umat Islam maupun bangsa. Sebab, wawasan keislaman sempit, sedangkan wawasan kebangsaan tidak ada. Pembenahan sumber daya manusia atau dai jauh lebih penting dilakukan lebih dulu.
Effendy mengakui, Dirjen Bimas Islam Kemenag telah mengeluarkan peraturan mengenai speaker masjid. Tapi, menurut dia, peraturan tersebut juga tidak dapat diterapkan secara ketat. Speaker masjid berkaitan dengan masalah tradisi beribadah atau berislam suatu masyarakat.
“Kalau di kampung saya di Purwokerto sana, tidak berlakulah peraturan ini. Masyarakat justru senang mendengar pepujian, bacaan Alquran, dan ceramah,” kisah Slamet Effendy.
Senin (22/7) kemarin, juru bicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah menyebutkan Wapres JK membentuk tim pemantau pemutaran kaset-kaset pengajian di masjid. Ketua DMI ini bermaksud menghimpun fakta di lapangan untuk mengukur tingkat kebisingan suara kaset pengajian.