REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan daerah (perda) di Kabupaten Tolikara, Papua yang melarang adanya pembangunan rumah ibadah di lokasi tersebut terkesan diskriminasi. Pengamat otonomi daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menilai jika perda tersebut melanggar konstitusi maka harus dibatalkan.
“Ya kalau itu (Perda) melanggar konstitusi nggak ada alasan, harus dibatalkan,” kata Siti kepada ROL, Kamis (23/7).
Selain pembatalan tersebut, menurut Siti, diperlukan adanya pemahaman di daerah khusus Indonesia, seperti salah satunya Papua. Terlebih, kata dia, Papua memiliki karakter sejarah yang pada akhirnya membentuk daerah tersebut seperti sekarang.
Siti menjelaskan, Papua merupakan daerah yang mewarisi sejarah kerusuhan juga sehingga butuh perlakuaan tertentu selama perkembangannya. “Wilayah itu (Papua) harus senantiasa ada bimbingan dan pendampingan pengawasan, jangan main digelontorkan uang saja misalnya tapi tidak ada pengawasan,” jelas Siti.
Ia menilai, pendampingan dan pengawasan tersebut bukan merupakan intervensi terhadap bagaimana pemerintah darah melakukan tanggung jawabnya. Siti menegaskan, pendampingan tersebut bisa membuat mereka lebih efektif sehingga terhindar juga memunculkan konflik ataupun kasus semacam Perda yang memberatkan pihak lain.
Untuk itu, Siti berpendapat jika memang Perda agama tersebut benar diberlakukan maka harus dicabut. Selanjutnya, harus menyempurnakan pembangunan daerah di Tolikara dan membuat sistem pemerintahan yang terkoordinasi dengan provinsi dan nasional.
Diketahui, dengan adanya Perda tersebut yang diketahui oleh Bupati Tolikara maka Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membentuk tim untuk menyelidiki hal tersebut. Sebab, pihaknya sama sekali belum pernah menyetujui adanya perda yang melarang pembangunan tempat beribadah di Tolikara.