REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat intelijen, Ridlwan Habib, menilai ada salah satu fungsi intelijen yang gagal dalam insiden kerusuhan berbau SARA di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Juma (17/7) silam. Fungsi tersebut adalah penggalangan yang dilakukan oleh aparat intelijen setempat.
Kendati begitu, Ridlwan menyebut, laporan intelijen sebagai upaya deteksi dini sudah berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya langkah pengamanan yang dilakukan aparat terkait, khususnya dari Polres dan Koramil setempat, untuk menjaga pelaksanaan sholat Idul Fitri.
Namun, ada satu fungsi intelijen yang belum berjalan secara maksimal. ''Yang gagal adalah fungsi intelijen di penggalangan, mereka tidak bisa merangkul tokoh-tokoh GIDI,'' kata Ridlwan saat dihubungi Republika, Jumat (24/7).
Penggalangan ini berfungsi untuk mendekati tokoh-tokoh GIDI guna mencegah adanya pergerakan massa yang lebih besar dari para jemaat GIDI. Penggalangan itu pun berupa diskusi dan dialog terhadap tokoh GIDI setempat.
''Penggalangan ini bisa oleh BIN di daerah, bisa oleh Baintelkam/Intelkam Polres dan Bais/Intel Koramil,'' ujar salah satu peneliti di Indonesia Inteligence Institute tersebut.
Sebelumnya, Kepala BIN, Sutiyoso, menyebutkan, semua pihak intelijen di daerah telah diberi instruksi untuk meningkatkan kewaspadaan, terutama pasca insiden Tolikara tersebut. Tidak hanya itu, dalam menyikapi adanya kemungkinan kerusuhan di Tolikara bakal memicu insiden yang lebih besar lagi di daerah lain, para aparat BIN, termasuk Komunitas Intelijen Daerah (Kabinda).
''Kami kan sudah punya jalur komunikasi dan telah langsung kami komunikasikan ke semuanya (di daerah). Saya sudah instruksikan semuanya. Pihak Kepolisian juga tentu sudah siaga,'' kata Sutiyoso.