REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peraturan daerah di Kabupaten Tolikara, Papua yang membatasi ibadah umat beragama dinilai tak berpijak pada akar historis bangsa Indonesia yang beragam.
"Perda di Tolikara yang sangat diskriminatif terhadap umat muslim sama sekali tidak punya pijakan dan akar historis, politis, normatif, dan hukum dalam konteks keindonesiaan,” tegas Direktur Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, dalam rilisnya, Senin (27/7).
Otonomi khusus Papua, ujarnya, berbeda dengan Aceh dan Yogyakarta secara politis dan historis. Dalam konteks sistem hukum positif yang berlaku apa yang menjadi spirit dan konten dari perda di Tolikara tersebut, disebutnya kontradiktif dan problematik inkonstitusional.
“Jadi aneh, kalau berdalih otonomi khusus kemudian di jadikan pintu kaum Nasrani di Tolikara khususnya untuk membuat determinasi atas nama agama terhadap umat lain dengan kemasan Perda,” cetus Harits.
Pengamat kontraterorisme ini pun menyimpulkan bahwa perda tersebut sebagai sebuah langkah politik untuk mengantarkan tahap demi tahap pada eksistensi Papua merdeka. Sedangkan, agama menjadi alat yang paling seksi untuk melegitimasi tujuan politis tersebut di Papua.
“Pemerintah harus waspada permainan asing melalui para misionaris yang secara sistemik mengonstruksi kepentingan politik primordial tersebut.Perda yang inkonstitusuonal di Tolikara wajib dihapus,” harap Harits.