REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menggelar pertemuan langka, pada Selasa (28/7), untuk menanggapi permintaan Turki. Ini merupakan pertemuan darurat kelima dalam sejarah 66 tahun berdirinya NATO, setelah Turki merasa wilayahnya terancam atas kehadiran kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Pertemuan luar biasa pada duta besar NATO ini didasarkan pada Pasal 4 Perjanjian NATO. Di sana disebutkan, setiap anggota boleh meminta untuk menggelar pertemuan jika integritas teritorial atau keamanannya terancam.
Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg akan memimpin sidang tertutup. Ia mengatakan, Turki meminta pertemuan digelar setelah serangan keji ISIS di dekat perbatasan dengan Suriah yang menewaskan 32 orang.
"Sekutu NATO mengikuti perkembangan yang ketat dan berdiri dalam solidaritas dengan Turki," kata Stoltenberg dalam mengumumkan pertemuan Selasa.
Hingga saat ini, pertemuan darurat baru digelar empat kali sejak NATO dibentuk pada 1949. Pertemuan darurat keempat sebelum permintaan Turki dilakukan pada Maret 2014 atas permintaan Polandia, setelah aneksasi Rusia di Crimea.
Setelah berbulan-bulan keengganan, pesawat-pesawat tempur Turki pekan lalu memulai penyerangan ke sasaran militan ISIS di Suriah. Keikutsertaan Turki telah lama ditunggu Amerika Serikat, sebagai pemimpin koalisi melawan ISIS.
AS dan Turki pada Senin (27/7), juga menyelesaikan rencana untuk memperkuat perbatasan Turki dengan Suriah. Selama ini, Turki telah lama mengkampanyekan zona larangan terbang di utara Suriah untuk membentengi diri dari ISIS dan militan Kurdi.
Menurut Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu, Turki dan AS melihat ke tujuan bersama pada kebutuhan untuk memberikan perlindungan udara untuk pemberontak Suriah yang berjuang melawan ISIS. Perubahan dramatis Turki terjadi pekan lalu dengan memberikan akses ke aliansi untuk pangkalan udara dan memborbardir sasaran militan di Suriah.
"Yang kita miliki saat ini adalah cakupan udara untuk membersihkan wilayah dari Daesh (sebutan untuk ISIS) dan mendukung oposisi moderat sehingga mereka dapat menguasai wilayah. Kami tak ingin melihat Daesh di perbatasan Turki," katanya.
Di Washington, pejabat AS mengatakan pembicaraan sedang berlangsung terkait ukuran dan ruang lingkup zona sepanjang perbatasan yang akan dibersihkan dari ISIS dan memungkinkan oposisi Suriah untuk beroperasi secara bebas. Para pejabat AS mengesampingkan pemberlakuan bersama zona larangan terbang formal dan mengatakan rencana itu tidak ditujukan untuk menciptakan "zona aman" bagi pengungsi Suriah.
"Tujuan dari operasi ini bukan untuk menciptakan zona aman bagi pengungsi Suriah. Tujuan dari operasi ini adalah untuk menghapus perbatasan dan menutup perbatasan untuk Daesh," kata seorang pejabat pemerintahan Obama senior, berbicara dengan syarat anonim.