REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus berupaya melindungi keamanan dan keselamatan saksi dan pelapor tindak korupsi di lembaga pemerintahan. Salah satunya dengan mengadakan pertemuan koordinasi pembuatan konsep Memorandum of Understanding (MoU) terkait Whistleblowing System (WBS) pada Selasa (28/7).
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam rilis menerangkan, pertemuan tersebut sesuai Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kesepakatan pun sejalan dengan aksi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di 17 kementerian dan lembaga melalui Whistleblowing System.
"Perlindungan bagi pelapor dan saksi pelaku tindak pidana korupsi sangat penting agar mereka bersedia dan berani melaporkan proses peradilan tindak pidana korupsi," ujarnya. Pelapor dan saksi, kata dia, akan memikul beban psikologis yang sangat berat karena akan berurusan dengan teman, atasan bahkan keluarga sekali pun yang diduga melakukan korupsi.
Belum lagi risiko yang telah dan akan dihadapi baik resiko terhadap keamanan diri dan keluarga. Ancaman lainnya yakni risiko terhadap serangan balik berupa tuntutan pidana pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan bentuk-bentuk kesalahan yang dapat dipidanakan.
"Pelapor juga menghadapi risiko serangan balik berupa pemindahan tugas, pemberhentian dari jabatan dan pemecatan dan bentuk-bentuk tindakan administrasi kepegawaian lainnya,” kata Semendawai.
Terkait MoU dalam indikator ideal, WBS wajib membangun sistem kerahasiaan, tim pengelola yang kapabel dan kredibel, rujukan kepada LPSK untuk memberikan perlindungan kepada pelapor (whistle blower) dan saksi serta perlu diberikannya reward bagi pelapor dan saksi yang telah mengungkap tindak pidana korupsi. “LPSK siap apabila kementerian lembaga mengajukan permintaan untuk memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi tindak pidana korupsi,” ujarnya.