REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penerapan hukum di Indonesia saat ini belum ramah terhadap kaum miskin dan anak-anak.
"Hukum saat ini saya katakan belum ramah terhadap orang miskin dan anak-anak. Coba lihat, hampir 50 persen anak-anak tidak dedampingi oleh advokat di pengadilan," kata Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara Suwahju setelah acara 'Strategi Mewujudkan Indonesia Tanpa Pelanggaran HAM' di Restoran Haropa, Jakarta, Rabu (29/7).
Anggara mengatakan sistem peradilan pidana harus diperhatikan jika ingin mewujudkan Indonesia tanpa pelanggaran HAM karena saat ini banyak rekayasa kasus. "Ini juga karena kewenangan Polri terlalu luas," ujarnya.
Menurut Anggara, kewenangan tanpa batas tersebut harus diawasi, terutama terkait dengan hukum pidana seperti sangat mudahnya orang untuk dipidana dan dijadikan tersangka padahal belum pasti kasusnya itu termasuk pidana.
"Rutan dan Lapas sudah 'over crowded' karena banyak orang yang belum jelas jadi tersangka dimasukan ke sel. Hal tersebut diduga ada kekerasan dalam proses penyidikan yang sering kita dengar," tuturnya.
Harusnya, menurut Anggara, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dirancang formula untuk mengurangi kekerasan yang kerap terjadi dalam proses penyidikan. Ia menambahkan kerugian bagi orang yang ditahan akan dirasakan juga imbasnya oleh keluarga, terlebih jika prosesnya ada kejanggalan.
Hal tersebut juga karena jumlah advokat yang tidak merata. "Saat ini advokat tidak merata, kebanyakan hanya di kota-kota besar. Di desa-desa jarang ada advokat akibatnya penyidikan sering terjadi tanpa adanya pendampingan," katanya.