REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia harus bersiap menghadapi kebijakan Open Sky yang sudah di depan mata. Pasalnya pengaturan lalu lintas udara berpengaruh pada kedaulatan Indonesia, dalam hal ini kedaulatan udara.
Hingga kini masih ada tiga pekerjaan besar yang harus dibenahi berkaitan dengan wilayah udara Indonesia. Pertama, yang berkenaan dengan oase nusantara seperti tanah, air, dan udara.
"Bagaimana kita mampu memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Tedjo Edhy Purdijatno, saat peluncuran buku Tanah Air dan Udaraku Indonesia karya Chappy Hakim di Jakarta, Rabu (29/7).
PR kedua yang harus segera dibenahi yakni adanya wilayah udara Indonesia yang berada di bawah pengaturan Flight Information Region (FIR) Singapura. Di wilayah ini, seluruh pengaturan penerbangan berada di bawah otoritas singapura.
"Ini bukan semata-semata masalah kedaulatan tetapi juga masalah keselamatan penerbangan sipil, apakah sudah sanggup mengelolanya," ucap Tedjo.
Ketiga tentang pelanggaran wilayah penerbangan. Hukuman dan denda pada pelanggar tidak seimbang. Untuk menindak penerbang 'nakal' yang melintas di kedaulatan wilayah udara NKRI, pemerintah mengandalkan pesawat sukhoi. "Biaya operasional penggunaan sukhoi tidak sebanding dengan denda yang dikenakan pada mereka," kata dia.
Wilayah udara memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Pada 1960an, Presiden RI ke-1, Sukarno, bisa menghadirkan kekuatan laut dan udara yang sedemikian dahsyat. Kini, Indonesia perlu memikirkan bagaimana cara agar kekuatan tersebut menjadi kian besar.
"Nenek moyang kita adalah seorang pelaut, namun anak cucu kita adalah seorang pelaut yang berpikiran modern yang memikirkan semuanya baik itu laut, darat, dan udara," ujar Tedjo.