REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Husen Hasan Basri
Jumlah pesantren dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini meningkat hampir 100 persen dari 14.656 pesantren pada 2003-2004 menjadi 29.535 pesantren pada 2013-2014. Selain secara kuantitatif, pesantren secara kualitatif mengalami perkembangan yang pesat dengan melihat berbagai aspek, di antaranya: status kelembagaan, tata pamong, penyelenggaraan program pendidikan, perluasan bidang garap, kekhasan bidang keilmuan, diversifikasi usaha ekonomi, jaringan kerjasama dan lain-lain. Keragaman perkembangan itu menghasilkan berbagai ekspresi pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, meskipun harus diteliti lebih lanjut, dari aspek kelembagaan pesantren dapat dikategorikan menjadi pesantren: modern dan tradisional; salafi dan khalafi; sederhana, sedang, dan maju; kecil, menengah, dan besar; untuk anak-anak, orang tua, dan mahasiswa; serta kategori pedesaan dan perkotaan. Kementerian Agama mengelompokkan pesantren ke dalam tiga bentuk pesantren: salafiyah, khalafiyah, dan kombinasi.
Pesantren pernah juga dibuat pengelompokan berdasar ciri khas keilmuan yang diselenggarakan, menjadi pesantren: aqidah, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, ilmu alat (nahwu dan sharaf), tahfidz, dan hisab.
Dilihat dari ciri khas keterampilan yang diselenggarakan, Kementerian Agama mengkategorikan ke dalam pesantren keterampilan: dakwah, kaligrafi, bahasa, perdagangan, pertanian, perkebunan, kelautan, dan home industry. Dari ragam itu, pesantren dapat dikelompokkan menjadi pesantren yang berbasis: ilmu pengetahuan agama Islam (klasik), ilmu pengetahuan sosial humaniora, sains dan teknologi, ekonomi kreatif, dan ilmu pengetahuan campuran. Atau menurut pendapat Imam Suprayogo, pesantren dapat dikategorikan menjadi: pesantren mandiri atau alternatif, pesantren formal, dan pesantren takmili.
Variasi pesantren yang beragam mengakibatkan langkah pembinaan tidak mudah dilakukan. Kategorisasi pesantren ‘salafiyah’, ‘khalafiyah’, dan ‘kombinasi’ yang sampai saat ini masih digunakan pada realitasnya tidak bersifat mutlak, bahkan cenderung kabur karena dalam realitasnya keadaan pesantren yang selalu berkembang dari mulai unsur dan nilai pesantren, program pendidikan, sampai faham keagamaan para pengasuhnya.
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada tahun 2014 melakukan kegiatan penelitian tentang pemetaan kapasitas kelembagaan pesantren. Salah satu tujuan penelitian tersebut adalah untuk menghasilkan “tipologi pesantren baru”. Penelitian dengan menggunakan metode survei tersebut melibatkan 783 sampel pesantren yang tersebar di 25 propinsi.
Dengan menggunakan gabungan konsep Capasity Building dari UNESCO-IICBA (2006), World Bank (2006), UNDP (2008), Tearfund (2009), Ricket (2007) dan Freeman (2010), penelitian tersebut mengukur 6 (enam) aspek kelembagaan pesantren meliputi: bentuk legal dan pengambilan keputusan; sumber belajar dan kekhususan bidang keilmuan; sumber daya manusia; sumber daya sarana dan prasarana; nilai-nilai internal (kultur pesantren); dan ketahanan lembaga (survive-ability).