Jumat 31 Jul 2015 12:21 WIB

Penguatan Dolar AS Dongkrak Ekspor Tuna Bali

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Satya Festiani
Ikan tuna. Ilustrasi
Foto: Reuters
Ikan tuna. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Penguatan kurs dolar AS tak selalu berdampak buruk ke ekonomi nasional. Provinsi Bali yang perairannya sebagai salah satu produsen ikan tuna di Indonesia mengalami peningkatan nilai ekspor sepanjang semester pertama tahun ini.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bali, I Made Gunaja mengatakan ekspor tuna segar dari Bali meningkat. Padahal, volume ekspornya lebih sedikit, sekitar 6.811,9 ton dibandingkan 8.962,4 ton pada periode sama tahun lalu. "Penguatan dolar berimbas pada naiknya ekspor tuna," kata Gunaja di Denpasar, Jumat (31/7).

Pengapalan tuna-tuna tersebut ke luar negeri memberi kontribusi pada devisa negara hingga 38,75 juta dolar AS, naik 19,7 persen dibandingkan 32,3 juta dolar AS pada periode sama tahun lalu.

Tuna merupakan satu dari enam komoditas perikanan dan kelautan utama di Indonesia. Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, Made Suastika menambahkan total hasil ekspor perikanan dan kelautan Bali mencapai 62,67 juta dolar AS sepanjang Januari-Juni 2015, naik 32,13 persen dibandingkan 47,43 juta dolar AS tahun lalu.

"Kontribusinya 26,13 persen dari total ekspor Bali secara keseluruhan yang mencapai 239,83 juta dolar AS," ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, ekspor hasil perikanan Bali paling banyak ke Jepang dan Amerika Serikat dengan masing-masingnya 31,6 dan 19,5 persen. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Australia (7,5 persen), Hong Kong (6,4 persen), Spanyol (3,6 persen), dan Singapura (0,81 persen).

Ekspor tuna Bali terbantu dengan penguatan dolar AS, meskipun secara volume terus menurun akibat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 57/ 2014 tentang moratorium bongkar muat (transhipment) di laut. Aturan tersebut menyebabkan turunnya produksi ikan tuna hingga 60 persen.

"Bongkar muat  di laut sampai sekarang belum dibolehkan, bahkan moratoriumnya diperpanjang enam bulan ke depan. Pengaruhnya adalah hasil tangkapan menurun 60 persen," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), Dwi Agus Siswa Putra.

Produksi ikan tuna saat ini rata-rata 700-750 ton per hari, turun dari rata-rata sebelum moratorium diberlakukan sekitar 1.500 ton per hari. Dari 553 unit kapal yang beroperasi di Pelabuhan Benoa, Bali misalnya, hanya separuhnya yang beroperasi sebab kapal khusus bongkar muat tak bisa bergerak. Asosiasi memahami tujuan kementerian untuk melindungi hasil tangkapan tuna di Indonesia, namun hendaknya tidak memberlakukan aturan yang sama untuk pengusaha pemilik kapal jenis longline.

Alasannya, kapal bongkar muat jenis longline di Indonesia hanya berkapasitas di bawah 200 deadweight tons (DWT) dan tidak mungkin bisa menyelundupkan hasil tangkapan ke luar negeri. Oleh sebabnya Dwi berharap pemerintah segera mengeluarkan petunjuk teknis PermenKP 57 untuk wilayah tertentu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement