REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Pencari Fakta Komite Umat (Komat) untuk Tolikara, Fadzlan Gamaratan, mengatakan insiden Tolikara, Papua, pada Jumat (17/7) termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat karena menghalangi umat beragama beribadah.
"Kesimpulan lapangan soal insiden Tolikara, yaitu termasuk pelanggaran HAM berat karena Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) menghalangi umat beragama lain melakukan ibadah dan menjalankan ajaran agamanya," katanya saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/7).
Dia menjelaskan kesimpulan kedua, insiden Tolikara sama sekali bukan kasus kriminal biasa dan terjadi bukan karena spontanitas. Namun, menurut dia, peristiwa itu diduga ada upaya menciptakan dan mengusik kehidupan beragama secara sistematis.
"Faktanya massa yang mengepung jamaah shalat Idul Fitri berasal dari tiga titik dan ada suara-suara yang mengomando penyerangan," ujarnya.
Ia menjelaskan Presiden GIDI patut dijadikan tersangka karena tidak mengindahkan dan abai terhadap peringatan yang dilakukan Kapolres Tolikara sehingga insiden itu terjadi. Kesimpulan keempat, menurut dia, berdasarkan fakta di lapangan, massa GIDI yang berkumpul telah meneror dengan melempar secara langsung ke jamaah shalat Idul Fitri.
"Selain itu massa GIDI melempar batu ke atap seng kios yang membuat suara gaduh untuk membubarkan shalat Idul Fitri," katanya.
Dia mengatakan kesimpulan kelima, pembakaran dimulai dari rumah Ketua Dewan Kemakmuran Masjid, Sarno, yang jaraknya dekat dengan masjid, yaitu hanya 20 meter. Kesimpulan keenam menurut Fadlan, lahan masjid Baitul Muttaqin memiliki sertifikat resmi dan hal itu mematahkan anggapan masjid itu berdiri di atas tanah ulayat.
"Sementara itu, kesimpulan terhadap keberadaan GIDI, telah mengeluarkan surat edaran yang melarang umat Islam melaksanakan shalat idul fitri dan muslimah memakai jilbab," katanya.
Kesimpulan kedua terhadap GIDI, Surat GIDI adalah asli atau otentik sehingga harus diusut apa maksud dan motifnya. Kepolisian, menurut dia, harus memeriksa dan menjadikan tersangka penanda tangan surat tersebut.
"Ketiga, patut diduga duga pendeta penandatangan surat GIDI adalah aktor intelektual di balik bencana di Tolikara," ujarnya.
Keempat, menurut dia, seminar internasional Kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) yang dilaksanakan 13-19 Juli 2015 tidak berizin padahal dihadiri lebih dari 2.000 peserta di antaranya Israel, Belanda, dan Papua Nugini.