REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar asuransi syariah Muhammad Syakir Sula menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan adanya unsur gharar (penipuan) dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena tidak menggunakan akad tabarru’. Sementara, menurutnya BPJS Kesehatan masih menggunakan akad jual beli seperti asuransi konvensional.
“Karena masih menggunakan akad jual beli maka ada kewajiban peseta BPJS Kesehatan untuk mebayar premi,” kata Syakir Sula kepada ROL, Jumat (31/7).
Ia menjelaskan, jika dengan adanya peserta yang membayar premi tersebut semestinya para peserta BPJS Kesehatan mengetahui kejelasan berapa klaim yang akan didapatkan. Padahal, kata dia, jika BPJS Kesehatan menggunakan akad jual beli maka harus jelas klaim yang didapatkan peserta berapa.
Terkait hal tersebut, Syakir Sula mengungkapkan BPJS Kesehatan tidak memberikan kejelasan berapa yang akan didapatkan peserta. “Kalau misalnya penyakitnya berat dia dapat klaimnya besar tapi kalau penyakitnya ringan dia dapatnya dikit,” jelasnya.
Untuk itu, ia menganggap tidak ada kepastian berapa yang didapatkan peserta karena dalam akad jual beli harus ada kejelasan terebut. Karena ketidakjelasan tersebut, lanjut dia, MUI mengatakan hal tersebut gharar dan hukumnya dalam Islam adalah haram.
Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa mengenai sistem pengelolaan BPJS belum sesuai ketentuan syariah. Permasalahan gharar menjadi salah satu unsur ketentuan syariah terebut yang sangat tergantung dengan penggunaan akad apa dalam asuransinya.