REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendorong Presiden Joko Widodo tetap melanjutkan proses hukum kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.
"Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) harus terus dilanjutkan," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siti Noor Laila di Yogyakarta, Senin (3/8).
Menurut Laila, tanpa penyelesaian yang jelas baik sesuai mekanisme hukum nasional maupun internasional, maka berbagai kasus pelanggaran HAM berat seperti peristiwa 1965, Semanggi, Talang Sari, Petrus, dan peristiwa Trisakti akan selalu dipertanyakan.
"Tanpa ada mekanisme penyelesaian yang jelas akan selalu dipertanyakan," kata dia.
Ia mengatakan, konteks penyelesaian kasus HAM 1965 misalnya, selama ini selalu dihubungkan kelompok tertentu dengan persoalan ideologi, padahal orientasi penyelesaian kasus itu bertujuan mengusut persoalan kemanusiaan.
"Banyak yang mengira bahwa melakukan pengusutan kasus 1965 bermaksud membela Partai Komunis Indonesia (PKI)," kata dia.
Dalam peristiwa tersebut, menurut Laila, banyak orang yang diberi stigma sebagai pengikut partai terlarang tanpa mengetahui dan memahami persoalan yang terjadi saat itu. "Padahal mereka tidak tahu menahu, tanpa disidang langsung dipenjarakan," kata dia.
Oleh sebab itu, ia mengatakan selain melakukan rehabilitasi nama baik korban kasus HAM 1965, negara secara resmi juga perlu menyampaikan penyesalan atas tragedi tersebut. Komnas HAM, menurut dia, juga telah menyampaikan permohonan kepada Presiden Joko Widodo agar menyinggung ihwal penyesalan negara atas kasus pelanggaran HAM dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2015 di DPR mendatang.
"Tapi kami belum tahu persis apakah presiden bersedia atau tidak," kata dia.