REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai wacana koruptor tak perlu dishalati saat meninggal dunia merupakan bentuk penegasan publik mengenai perlu ada sanksi moral terhadap koruptor. Wacana seperti itu bisa dimaknai sebagai wujud komitmen memerangi tindak pidana korupsi.
“Mungkin karena masyarakat sudah begitu geram, sudah begitu murkanya (terhadap koruptor, Red), sehingga lalu kemudian sampai ada wacana seperti itu,” kata Menag usai memberikan pengarahan pada acara Pembekalan Petugas Media Center Haji 1436 H/2015 M di kantor Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (5/6).
Pada acara Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengajukan rekomendasi jenazah koruptor tidak perlu dishalatkan kepada muktamirin. Dahnil berpendapat, hal itu merupakan bagian hukuman sosial untuk membuat jera koruptor dan menjauhkan masyarakat dari sifat tersebut.
Menurut Menag, wacana jenazah koruptor tak dishalati merupakan domain ulama-ulama dan para kiai guna membahasnya dari perspektif fikih atau hukum Islam.
Para ulama dan kiai yang dimiliki ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentu mempunyai kapasitas dan kewenangan yang mumpuni untuk menyikapi hal tersebut.
“Kalau saya kan umara, saya wakil dari pemerintah, tentu bukan domain saya, bukan wilayah dan otoritas saya untuk menghukumi ini secara syar’i karena ini adalah wilayahnya para ulama,” ujar Menag.