REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Setara Institute menyesalkan penggusuran paksa yang dilakukan ratusan personil tentara dari Kodam IV Diponegoro terhadap puluhan rumah warga Jalan Setia Budi RT 04/ RW 02 Srondol Semarang. Ironisnya penggusuran paksa terhadap rumah purnawirawan TNI paling sering menimpa mereka yang pangkat terakhirnya Pamen (Perwira Menengah) ke bawah.
"Artinya penggusuran paksa selalu menimpa mereka orang-orang kecil untuk selalu dikorbankan,” ujar Ketua Setara Institute, Hendardi dalam siaran pers yang diterima ROL, Kamis (6/8) malam.
Seharusnya, kata Hendardi, jajaran pimpinan TNI, bahkan Presiden RI selaku Panglima Tertinggi mengeluarkan rumusan kebijakan yang baik untuk para purnawiran TNI. Khususnya kebijakan terkait tempat tinggal mereka selama ini yang menjadi kebutuhan primer atau mendasar dalam hidup. Ditegaskan Hendardi, sesuai pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria tahun 1969 maka warga yang sudah lama bahkan puluhan tahun menempati dan mendiami tanah negara, apalagi warga yang menempati tanah tersebut seharusnya mendapat prioritas pertama sebagai yang berhak mengajukan permohonan pembuatan Sertfikat Hak Milik (SHM). "Ada itu diatur dalam pasal-pasal di dalam UU Pokok Agraria. Gak bisa warga Jakarta sekonyong-konyong mengklaim lahan tersebut lantas menunjukkan SHM. Bagaimana bisa?," ucapnya.
Panglima TNI dan para pimpinan angkatan seharusnya sudah membuat rumusan kebijakan uang ganti rugi yang layak dan manusiawi terhadap para purnawirawan yang digusur. "Jangan hanya mengandalkan uang kerohiman yang sangat ala kadarnya itu, apalagi mereka yang sudah tinggal di rumah itu puluhan tahun lamanya," ujar Hendardi.
Dalam kesempatan itu, ia mengimbau warga yang digusur, selain mengajukan tuntutan ganti rugi namun juga harus melaporkan tindakan mereka ke segenap pimpinan TNI, termasuk ke Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. "Mintakan keadilan kepada pimpinan TNI. Mereka juga harus mengajukan gugatan hukum. Apalagi ada indikasi kepentingan bisnis atas lahan tersebut," kata dia.