REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana akan dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden mendapat tanggapan miring dari publik.
"Saya kira pasal itu berlebihan dan berpotensi repressive seperti zaman orde baru," ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, saat dihubungi ROL, Sabtu (8/8).
Menurut Dahnil, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai cukup menjadi rujukan menjerat pelaku penghinaan terhadap presiden. Protes masyarakat terhadap presiden dari masa ke masa pasti akan terjadi.
Namun, Dahnil mengakui, cara masyarakat memprotes presiden bermacam-macam. Karena itu, menurut Dahnil, pasal tersebut jangan sampai memberikan teror kepada masyarakat yang kritis. "Karena bisa saja penguasa justru menggunakan pasal tersebut untuk membungkam kelompok kritis," kata Dahnil.
Akibatnya, tatanan demokrasi terancam. Padahal, tatanan tersebut dibangun masyarakat sejak reformasi.
Sebelumnya, mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Abdullah Machmud Hendropriyono menilai menghina presiden merupakan tindakan yang salah. Hendropriyono mengatakan, menghina dengan mengkritik sangat beda.
"Mengkritik itu misal bilang sodara salah, itu kritik. Itu boleh. Tapi kalau kamu bilang bangsat, itu menghina," tegas Hendropriyono, di Mabes Polri, Jumat (7/8).
Hendropriyono juga menampik jika pasal tersebut dihidupkan kembali maka, akan mengembalikan ke zaman Orde Baru. Karena itu, Hendropriyono menegaskan, harus diperjelas dalam pasal tersebut antara mengkritik dan menghina.