REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dinilai justru memperlemah posisi Presiden Joko Widodo di mata masyarakat. "Ini malah mengesankan kalau Jokowi presiden yang anti kritik," ucap Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono kepada ROL, Sabtu (8/8).
Ia menyarankan Jokowi tidak usah mengambil langkah itu. Kalau ingin meredam pelecehan verbal, visual, atau fitnah yang ditujukan padanya maka Jokowi dapat menggunakan pasal pencemaran nama baik. "Kalau Presiden tidak happy, ya tinggal dipidanakan saja dengan pasal pencemaran nama baik," katanya.
Adanya pasal penghinaan presiden, kata Tegh, sama saja seperti menghidupkan kembali zaman orde baru. Sebenarnya tanpa pasal penghinaan presiden, Jokowi akan baik-baik saja. Tidak semua orang berani menghina Presiden.
"Hanya orang-orang nekat saja yang berani, jadi tidak perlu lah dibuat pasal baru karena sudah ada mekanisme lama di situ," ucapnya. Lagipula, Jokowi mempunyai staf ahli yang bisa bertindak apabila martabat presiden ke tujuh tersebut dilecehkan.
Meski begitu Teguh tidak melihat rencana pemasukan kembali pasal tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kemunduran demokrasi. "Jokowi hanya kurang siap menerima kritik dan masukan masyarakat atau jangan-jangan justru timnya Jokowi yang tidak siap," ujar Teguh.
Namun dikhawatirkan pasal penghinaan presiden akan membuat kebebasan berpendapat menjadi terancam. Pasalnya, aturan itu merupakan pasal karet yang bisa ditafsirkan sesuai kehendak hati penguasa.