REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Deddy Mizwar, mengeluhkan tidak adanya aturan terkait tata edar perfilman di Indonesia. Ia menggambarkan tak adanya peraturan pelaksana terhadap Undang Undang (UU) Perfilman No.33 tahun 2009 telah membuat nasib pekerja film seperti di hutan rimba.
"Karena untuk membereskan semua persoalan perfilman yang ada, termasuk sistem atau pengelolaan tata edar dan berbagai persoalan perfilman lainnya, tentunya harus diberlakukan PP-nya," kata Deddy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (9/8).
Wakil Gubernur Jabar itu menambahkan, dengan belum dikeluarkannya PP UU Perfilman dapat diartikan negara telah melakukan pengabaian UU No 33 tahun 2009. "Oleh karenanya bisa kita pertanyakan kepada menteri terkait atau pemerintah, mengapa pengabaian itu bisa terjadi?" kata Deddy.
Implikasi belum dikeluarkannya PP UU Perfilman, menurut aktor Naga Bonar ini telah merambat hingga kepada persoalan antara Lembaga Sensor Film (LSF) dan para produser. Dulu ada persoalan antara LSF dan para produser, kata dia, masih ada lembaga arbitrase seperti BP2N yang bisa menjadi penengah.
''Tapi setelah BP2N dibubarkan dan diganti Badan Perfilman Indonesia (BPI), persoalan atau sengketa antarmereka (LSF dan produser) langsung bisa ke pengadilan.''
Padahal dulu, sebelum ada BPI, lembaga perfilman seperti Dewan Film, sebelum diganti BP2N, keduanya masuk dalam APBN serta mendapatkan anggaran dana dari pemerintah. ''Lah sekarang ini posisi BPI itu sangat lemah. Dana pun nggak ada,'' ujar Deddy.