REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Republik Afrika Tengah terletak di jantung benua Afrika. Berbatasan dengan Kongo, Chad, Sudan, Republik Demokratik Kongo, dan Zaire, negara ini dulunya bernama Ubangi-Shari. Bekas koloni Perancis itu meraih kemerdekaan pada tahun 1960.
Selama beberapa dasawarsa terakhir, Republik Afrika Tengah terus bergolak. Sesekali redam, kemudian kembali bergejolak. Pemerintahan silih berganti, acapkali diwarnai kudeta berdarah dan pemberontakan. Konflik politik itu merembet ke konflik sektarian.
Ada ratusan etnis di Republik Afrika Tengah. Yang terbesar adalah Baya, Banda, Manjia, Sara Mbourn, M’baka, dan Yakoma. Konon, Islam masuk ke Republik Afrika Tengah bersamaan dengan masuknya Islam ke Chad pada abad ke-11. Tidak ditemukan keterangan siapa yang menyebarkan Islam ke negara ini.
Islam adalah agama minoritas di Republik Afrika Tengah. Menurut laporan Organization of Islamic Cooperation (OIC), berjudul “Central Africa, Massacres and Displacement”, yang dirilis Juni 2014, sebagian besar Muslim berada di perbatasan Chad dan Sudan. Muslim berkisar 15 persen, sedang 85 persen sisanya menganut Kristen dan agama kepercayaan.
Selama kurun satu dekade terakhir, konflik di Republik Afrika Tengah kembali pecah pasca kudeta militer aliansi faksi politik Muslim-Séléka pada Maret 2013. Séléka menggulingkan pemimpin Kristen, François Bozize, yang telah berkuasa sejak tahun 2003. Michel Djotodia kemudian mengumumkan diri sebagai presiden Muslim pertama di negara itu.
"Sejak akhir 2013 dan awal 2014, Muslim di negara tersebut menghadapi penyiksaan dan ancaman kematian oleh milisi Kristen," tulis Amnesty Internasional, dilansir dari Morocco World News. Lembaga itu merilis laporan berjudul "Identitas yang Terhapus: Muslim di Wilayah Etnis Dibersihkan dari Republik Afrika Tengah", pada 31 Juli lalu.
Bagaimana kondisi Muslim Afrika Tengah, Baca Islam Digest Republika Edisi Ahad mendatang.