REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang oleh yayasan Supersemar yang dikelola kerabat keluarga mantan Presiden Soeharto. Dalam putusan tersebut, yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi sebesar Rp 4,4 triliun.
Juru bicara MA, Suhadi mengatakan putusan tersebut diambil melalui sidang yang dipimpin Wakil Ketua MA bidang Non-Yudisial, Suwardi, dengan anggota majelis hakim, Soltony Mohdally, dan Mahdi Soroinda Nasution.
"Itu perkara di nomor 140.PK.PDT.2015, tertanggal 8 Juli 2015, hakim yang mimpin itu Suwardi," kata Suhadi di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Selasa (11/8).
Suhadi mengatakan MA memutuskan bahwa Yayasan Supersemar harus membayar Rp 4,4 triliun akibat dugaan penyelewengan dana untuk pendidikan rakyat Indonesia. Sebelumnya pun, Jaksa Agung juga menjadikan Soeharto dan ahli warisnya sebagai tergugat I. Namun, Suhadi menyatakan keluarga Soeharto tidak perlu menanggungnya.
Sebelumnya, kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Namun dalam perjalanannya, dana tersebut yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia diselewengkan. Setelah Soeharto tumbang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejaksaan Agung (Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.