Sabtu 15 Aug 2015 21:12 WIB
Daging Sapi Melambung

Pemakaian UU Terorisme untuk Penimbun Sapi Harus Cermat

Walikota Bandung Ridwan Kamil melayani pembeli saat sidak Operasi Pasar penjualan daging sapi oleh Bulog, di Pasar Kosambi, kota Bandung, selasa (11/8). Daging sapi dijual Rp 90 ribu per kilogramnya.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Walikota Bandung Ridwan Kamil melayani pembeli saat sidak Operasi Pasar penjualan daging sapi oleh Bulog, di Pasar Kosambi, kota Bandung, selasa (11/8). Daging sapi dijual Rp 90 ribu per kilogramnya.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang, Prof Nyoman Sarekat Putrajaya menilai rencana penjeratan pelaku penimbun sapi dengan pasal terorisme, harus cermat.

"Dalam Undang-Undang Terorisme, tindakan terorisme ada unsur ancaman dan kekerasan yang bersifat meluas dan biasanya ditujukan pada objek vital dan strategis," katanya di Semarang, Sabtu (15/8) malam.

Hal itu diungkapkannya menanggapi rencana Bareskrim Polri memidanakan pelaku penimbunan dengan UU pidana dan UU Nomor 15/2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Guru Besar Fakultas Hukum Undip itu mengatakan Polri harus mengkaji rencana itu dari berbagai aspek, apalagi tindak kejahatan penimbuhan lebih banyak kaitannya dengan bidang ekonomi dan pangan.

"Saya mengapresiasi rencana Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso menjerat penimbun sapi dengan UU Terorisme. Polisi ingin menjerat mereka (pelaku penimbunan) dengan pasal berlapis," katanya.

Ia mengatakan rencana penjeratan pelaku penimbunan sapi dengan UU Terorisme bisa menjadi efek jera bagi lainnya sehingga perlu diapresiasi. Tetapi, harus dilakukan dengan cermat dan kajian yang mendalam.

Menurutnya, penjeratan dengan pasal berlapis bisa dilakukan untuk suatu tindak kejahatan, termasuk penimbun sapi, dengan memperluas ancamannya, mulai dari yang paling ringan sampai paling berat. "Sebagai penegak hukum, Polri berkewajiban memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kalau penimbun sapi dijerat dengan pasal berlapis, harapannya kan jangan sampai lolos," katanya.

Tetapi, ia mengingatkan Polri untuk lebih cermat dalam memahami perundang-undangan. Termasuk mengenai definisi suatu perbuatan bisa disebut sebagai terorisme harus betul-betul dipenuhi.

"Tentang kekerasan, misalnya, sebelumnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kan hanya mengenai kekerasan secara fisik. Pada perkembangannya, diperluas hingga kekerasan bersifat psikis," katanya.

Ia mengingatkan dengan UU Subversif yang diberlakukan pada era Orde Baru yang hampir serupa dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun sekarang ini regulasi itu sudah dicabut. "Makanya saya mengingatkan Polri untuk lebih cermat dan mengkaji secara mendalam dalam menerapkan suatu aturan. Yang terpenting, prinsip kehati-hatian harus dikedepankan," ucap dia.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Budi Waseso sebelumnya mengatakan polisi hendak memidanakan pelaku penimbunan dengan UU pidana dan UU Nomor 15/2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Menurut dia, tindakan para pelaku penimbunan itu merupakan bentuk teror terhadap masyarakat. "Bayangkan, harga (daging) menjadi tinggi, membuat masyarakat resah. Ini bentuk teror juga kepada masyarakat dan pemerintah. Jadi, jangan main-main dengan masalah sembako," tegasnya.

Dengan menerapkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kepada para pelaku penimbunan, ia berharap akan menimbulkan efek jera sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement