REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Integritas adalah sebuah kata yang menunjukkan mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Seorang manusia akan digambarkan memiliki integritas apabila dapat menyelaraskan apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.
Semakin jujur dan amanah seseorang maka semakin tinggi integritasnya. Sebaliknya, jika seseorang semakin banyak bohong dan berkhianat maka semakin rendah integritasnya. Orang yang beriman ditandai dengan integritasnya yang tinggi sementara seorang munafik ditandai dengan integritasnya yang rendah.
Berkaitan dengan integritas, pada awal surah al-Shaff [61] ayat 1-3, Allah SWT berfirman, “Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana; Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?; Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna. Semua makhluk tunduk di bawah kehendak-Nya dan Allah juga yang menciptakan segala sesuatu dengan maksud dan tujuan yang dikehendaki dan sesuai pula dengan kegunaannya. Peristiwa atau perbuatan yang disifati benar atau salah diciptakan agar manusia dapat memilih, mendapatkan pahala atau dosa, dan pelajaran serta hikmah atas apa yang disaksikan.
Setelah menggambarkan kesempurnaannya, Allah memperingatkan kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Di antara kelemahan manusia adalah pertama, perkataan mereka tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Banyak sekali manusia pandai berbicara, menganjurkan perbuatan baik, dan memperingatkan agar orang lain menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Abdullah bin Rawahah berkata, “Para Mukmin di masa Rasulullah sebelum jihad diwajibkan berkata, “Seandainya kami mengetahui perbuatan-perbuatan yang disukai Allah tentu kami akan melakukannya.”
Rasulullah pun menyampaikan perbuatan yang paling disukai Allah yaitu, “Beriman kepada-Nya, berjihad, menghapuskan kemaksiatan yang dapat merusak iman, mengakui kebenaran risalah yang disampaikan nabi-Nya”. Setelah datang perintah jihad, sebagian orang-orang-orang yang beriman merasa berat melakukannya. Maka, turunlah ayat ini sebagai celaan akan sikap mereka yang tidak baik itu.
Kedua, tidak menepati janji yang dibuat. Jika seseorang beriman tidak menepati janji maka ia akan jatuh menjadi seorang munafik. Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berjanji maka ia menyalahi janjinya, apabila ia berkata maka ia berdusta, dan apabila ia dipercaya maka ia berkhianat. (HR Bukhari-Muslim).
Menepati janji merupakan perwujudan iman yang kuat dan akhlak yang agung. Sifat jujur dan amanah pada sesorang akan menimbulkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan menyalahi janji dan khianat merupakan perwujudan iman yang lemah, perangai yang jelek, dan sikap yang tidak beradab.
Akibatnya, akan timbul perasaan kecewa, saling mencurigai, dendam kesumat, dan perasaan galau di dalam masyarakat. Apalagi, jika hal tersebut dilakukan oleh para pemimpinya. Kita tidak ingin negeri ini mendapat murka Allah karena ulah pemimpinnya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga tidak ada pemimpin yang sempurna. Manusia terbaik adalah manusia yang jujur dengan kelemahannya. Tidak perlu bertanya kepada orang lain untuk mengetahui kelemahan diri. Bertanyalah kepada hati nurani, niscaya terbukalah segala kebajikan dan kebijakan. Jika sudah demikian maka terhubunglah antara hati dan pikiran dengan ucap dan perbuatan.