Selasa 18 Aug 2015 21:22 WIB

Freeport Keluhkan Ketidakpastian Nasib Perpanjangan Kontrak

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
?Seorang warga membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan mengusir Freeport dari Indonesia di Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
?Seorang warga membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan mengusir Freeport dari Indonesia di Bundaran HI, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, TEMBAGAPURA - PT Freeport Indonesia lagi-lagi menagih ketegasan pemerintah atas perpanjangan kontrak karya pertambangan hingga 2041. Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsoeddin mengungkapkan, kepastian perpanjangan kontrak karya ini perlu dilakukan sebab investasi yang akan digelontorkan Freeport tergolong besar.

Sedikitnya, 4 miliar dolar AS telah Freeport keluarkan untuk penambangan bawah tanah dari rencana total 15 miliar dolar AS. Belum lagi, rencana pembangunan pemurnian konsentrat tembaga di Gresik yang membutuhkan 2,3 miliar dolar AS.

"Tentunya pemerintah tidak akan menyiakan-nyiakan investasi. Dengan banyaknya aset sumber daya manusia, saya yakin pemerintah punya pertimbangan," ujar Maroef, Selasa (18/8).

Dari sisi bisnis, ketidakpastian perpanjangan kontrak akan berdampak pada sumber pendanaan yang ada. Maroef sendiri mengaku harus meyakinkan pemilik saham bahwa keberlangsungan operasi Freeport akan berjalan baik.

Pasalnya, pada September ini Freeport akan memulai penambangan bawah tanahnya di Deep Mile Level Zone (DMLZ). Artinya, Freeport semakin kencang melakukan produksi dengan target perdana sebesar 10 ribu ton per hari. Targetnya, pada 2021 produksi busa mencapai 80 ribu ton per hari.

Penambangan bawah tanah Freeport dilakukan untuk menjaga kapasitas produksi akibat berhentinya penambangan terbuka Grasberg pada 2017.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot menunjukkan sinyal positif atas perpanjangan kontrak Freeport. Idenya, perpanjangan kontrak akan berdasarkan pada UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hal ini karena selama ini UU nomor 4 tahun 2009 dan PP nomor 1 tahun 2014 mengganjal perpanjangan kontrak karya karena hanya bisa dilakukan 2 tahun sebelum kontrak karya habis.

"Nanti dipertimbangkan lebih dari 2 tahun. Kontrak mereka setiap saat. Kebetulan PP itu 2 tahun. Oleh karena itu, kita lihat UU. Bisa jadi dikategorikan berdasarkan investasi," ujarnya.

Menanggapi polemik perpanjangan kontrak Freeport ini, pengamat manajemen dan ekonomi Rhenald Kasali menilai pemerintah harus segera memberi kepastian. Dia menilai, selain sisi bisnis ada akibat sosial yang terjadi bila perpanjangan kontrak karya urung dilakukan.

"Jadi, kalau pemerintah selama ini ramai menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia, harusnya investor yang sudah ada ya dijaga. Ini Freeport sudah ada. Harusnya dijaga keberlangsungan," kata Rhenald.

Hingga saat ini, Freeport masih didesak untuk merampungkan pengerjaan smelter di Gresik. Nantinya, smelter di Gresik bisa menambah kapasitas pemurnian konsentrat menjadi 3 juta ton per tahun dari kapasitas semula yang hanya 1 juta ton konsentrat per tahun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement