REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong konsolidasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sebab, mayoritas BPR permodalannya masih minim.
Advisor Koordinator Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Wilayah Timur OJK Achmad Fauzi mengatakan, saat ini banyak BPR yang modalnya masih minim dan perlu ditambah.
"Ini dalam rangka pengembangan BPR ke depan, tentu paling kuat permodalan tadi, bahkan ada yang melampaui aset bank umum. Kita mendorong merger, akuisisi yang kecil-kecil, tapi itu kan memerlukan proses juga," jelasnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/8).
Menurutnya, nantinya OJK akan mengelompokkan 4 zona BPR berdasarkan permodalannya. BPR yang dibawah ketentuan akan diminta menambah modal.
Pembagian zona BPR menurut permodalan bagi BPR baru, yakni zona I yang modalnya minimal Rp 14 miliar, zona II modal minimal Rp 8 miliar, zona III modal minimal Rp 6 miliar, dan zona IV modal minimal Rp 4 miliar.
Fauzi menyatakan, yang terpenting BPR yang ada sekarang harus segera menyesuaikan, meskipun ada masa transisinya. "Banyak yang di bawah Rp 4 miliar jadi secara bertahap ditambah modalnya, modal harus kuat," imbuhnya.
Fauzi menyebutkan, penetapan strata modal inti BPR kegiatan usaha (BPRKU) dibagi menjadi tiga. BPRKU 1 merupakan BPR yang modal intinya kurang dari Rp 15 miliar terdapat 1.463 bank.
BPRKU 2 yang modal intinya antara Rp 15 miliar sampai Rp 50 miliar terdapat 151 bank. Serta BPRKU 3 yang modal intinya sama dengan atau di atas Rp 50 miliar terdapat 29 BPR.
Secara rinci, BPR yang modalnya kurang dari Rp 3 miliar sebanyak 749 bank (45,6 persen). Kemudian, BPR yang modalnya antara Rp 3 miliar-Rp 6 miliar sebanyak 422 bank (25,7 persen). Kemudian yang modal intinya Rp 6 miliar-Rp 15 miliar sebanyak 292 bank (17,8 persen).
BPR yang modal intinya sama dengan atau di atas Rp 100 miliar terdapat 10 BPR atau 0,6 persen dari total BPR. Dan sisanya modal antara Rp 15 miliar sampai kurang dari Rp 100 miliar.
Fauzi menambahkan, rata-rata NPL BPR secara agregat di bawah 10 persen atau sekitar 5,7 persen. Menurutnya, kualitas kredit tersebut merupakan konsekuensi dari situasi ekonomi yang sedang melambat. Dia berharap, kondisi seperti itu tidak akan merusak atau mengganggu likuiditas BPR.
Pada 2012, terdapat dua BPR yang dicabut. Sehingga, OJK meningkatkan pengawasan agar BPR dalam kondisi yang kuat. Oleh karena itu, OJK mengadakan program mengembangkan BPR dari sisi permodalan dan kepengurusannya, tata kelola yang baik, IT dan harus fokus kepada UMKM.