REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterpurukan rupiah hanya memberi keuntungan bagi mereka yang kaya dengan dolar AS. Kondisi tersebut menjadi masalah karena bisa jadi ini permainan rekayasa dari mereka yang kaya dengan dolar AS.
"Lihat saja suap, korupsi, itu pakai dolar AS. Lihat saja pejabat kita banyak yang kaya dengan dolar. Saya perkirakan hampir semua orang berusaha memegang dolar AS," ucap pengamat pasar uang Farial Anwar kepada ROL, Senin (24/8) malam.
Memegang rupiah saat ini tidak terlalu menguntungkan. Semakin hari, nilai rupiah makin menyusut dan termakan inflasi. Meski begitu, Farial ragu apakah kejatuhan rupiah saat ini akan membawa Indonesia pada krisis ekonomi yang sama seperti 1998. "Tapi saya belum tahu betul apakah akan terjadi seperti itu atau tidak," ucapnya.
Ketika 1998 banyak sekali pendapat bahwa krisis ekonomi Thailand tidak akan menjalar ke Indonesia. Namun nyatanya ketika George Soros masuk ke Indonesia dan memborong dolar AS, rupiah pun anjlok tajam dari Rp 2.400 ke Rp 16.000an.
"Kondisi perbankan kala itu rentang didominasi para konglomerat bandit yang memang mempermainkan bank untuk kepentingan pribadi," ucap Farial.
Saat 1998 banyak bank bermasalah dan bangkrut dari sisi permodalan. Waktu itu Indonesia belum siap menghadapi guncangan.
Seandainya sekarang ada potensi ke sana lagi, diharapkan Indonesia sudah siap karena cadangan devisa lebih banyak sehingga kemampuan antisipasi kejatuhan nilai tukar menjadi lebih kuat. "Yang penting kerja keras dan serius antar sektor fiskal dan moneter," ujarnya.
Mudah-mudahan, kata Farial, kekhawtiran akan krisis ini tidak terulang. Bukan berarti tidak akan terjadi lagi, hanya saja kondisi mempelihatkan bahwa harusnya Indonesia sudah lebih siap. "Kalau sampai terjadi lagi, kebangetan. Artinya kita tidak pernah pintar belajar mengatasi problem," kata dia.