REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil yang membidangi dana daerah khusus Aceh dan Papua menanggapi pernyataan presiden terkait kriminanasi kepala daerah. Menurutnya, rendahnya daya serap anggaran di daerah daerah adalah buah dari banyaknya kepala daerah yang ditangkap penegak hukum.
"Ini akibat salah menerapkan kebijakan. Sebenarnya instrumen untuk menghindari kriminalisasi terhadap kepala daerah sudah dilakukan dengan membentuk Undang-Undang Admnistrasi Pemerintahan," katanya saat dihubungi ROL, Selasa (25/8).
Hanya saja, kata dia, dalam Undang-Undang Tipikor ketentuan yang menyebut bahwa 'turut serta dan ikut memperkaya orang lain' sering dijadikan alasan penegah hukum untuk menyeret kepala daerah.
Karena itu, dia menegaskan, inisiatif Kejaksaan Agung membentuk tim hukum di kejaksaan dalam mendampingi kepala daerah guna mempercepat pembangunan adalah bagian untuk mempercepat penyerapan anggaran. "Jadi, Ketentuan di UU Tipikor lah yang harus disikapi oleh presiden," ungkap Nasir.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo menyoroti belanja modal pemerintah yang baru mencapai 20 persen dan tingginya dana daerah yang masih mengendap di bank sebesar Rp 273 triliun.
Presiden Jokowi menyinyalir, rendahnya penyerapan anggaran itu antara lain disebabkan masih banyak pejabat yang takut dikriminalisasi ketika menjalankan proyek pembangunan.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan masih adanya kinerja birokrasi yang lamban. Untuk mengatasi hal tersebut, Presiden menilai, perlu ada diskresi agar dapat mempercepat pelaksanaan pembangunan. "Saya minta kepada semua aparat hukum agar jangan kriminalisasikan kebijakan," kata Jokowi di Istana Bogor, Senin (24/8).
Kendati demikian, Presiden menegaskan instruksi agar kebijakan tak dikriminalisasi itu bukan berarti pemerintah tak mendukung pemberantasan korupsi. Tapi, semata demi kelancaran program pembangunan pemerintah. "Silakan pidanakan sekeras-kerasnya kalau terbukti mencuri atau menerima suap," kata Presiden ke-7 RI tersebut.