REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidikan kasus dugaan korupsi atas pembelian aset oleh Victoria Securities Internasional Corporation (VSIC) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) oleh tim Satgasus Kejaksaan Agung, terus menuai polemik.
Pengamat politik The Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo meminta Kejaksaan Agung tidak melakukan diskriminasi dalam kasus ini. "Banyak perusahaan yang membeli aset dari BPPN saat itu, kenapa hanya PT Victoria Sekuritas Indonesia yang diungkap ke publik?" Kata Karyono saat dihubungi wartawan, Rabu (26/8).
Ia meminta Tim Satgasus berhati-hati sebelum melakukan tindakan hukum ter hadap siapapun. Termasuk dalam menangani perkara VSI.
Menurut Karyono, penegak hukum harus menggunakan azas prudensial (kehati-hatian) dalam menangani suatu perkara, tidak bisa dengan cara serampangan. Kedudukan perkaranya mesti jelas, bukti-buktinya juga harus kuat agar tidak menimbulkan masalah ke depannya.
"Pertanyaanya jangan diskriminasi dong, jadi kalau mau menegakan mengedepankan prinsip keadilan, hukum tanpa diskriminasi, tanpa kriminalisasi baru saya dukung," katanya.
Ia mengatakan dalam kasus tersebut perlu diperiksa juga peran BPPN, sejauh mana. "Nah itu kan terjadi 2003 dimana Kepala BPPN Syarifuddin Tumenggung menjabat. Itu bisa dihadirkan untuk diperiksa, sehingga persoalan jadi jelas. ini kan masih belum saya kira kehadiran dan diperiksanya Syarifuddin jadi kunci untuk mendudukan persoalan ini jadi jelas," katanya.
Sementara itu, Sementara itu tim kuasa hukum Victoria Securities International Corporation (VSIC) Irfan menjelaskan, kliennya adalah investor yang ditunjuk sebagai pemenang lelang atas hak tagih terhadap PT. Adyaesta Ciptatama Group (AG) pada lelang program penjualan aset-aset kredit IV (selanjutnya disebut lelang PPAK IV) yang diselenggarakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 2003.
"Maka tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh Kejaksaan Agung adalah pelanggaran atas Pasal 23 UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Irfan.
Maka itu dia menduga ada upaya kriminalisasi terhadap kliennya dengan menuduh adanya kerugian negara. Padahal, kata dia, sampai sekarang tidak ada audit dari memberikan rekomendasi nilai kerugian negara.
Dia mengungkapkan, lelang yang dilakukan BPPN tersebut adalah buah dari kebijakan politik yang dilakukan pemerintah saat itu.
"Karena kami lihat tim (Kejagung) bertindak liar, tanpa ada satu bukti permulaan kerugian negara, tapi melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Ini yang jd pertanyaan besar dari kami. Kami indikasi ada tindakan upaya mengoreksi kebijakan hukum yang paripurna, saat itu dipimpin oleh Preisden Megawati Soekarnoputri," kata Irfan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung salah alamat saat melakukan penggeledahan kantor PT Victoria Investama (VI) dan PT Victoria Sekuritas Indonesia (VSI).
Seharusnya Satgasus Kejagung menyasar Victoria Securities Internasional Corporation (VSIC). VSIC merupakan perusahaan yang pernah membeli cessie milik PT Adistra Utama dari BPPN pada 1998 lalu. Saat itu, cessie PT Aditra dilelang oleh BPPN karena perusahaan tersebut tidak sanggup membayar hutangnya kepada Bank Tabungan Negara (BTN) sebesar Rp469 miliar.
Ketika PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) ingin menebus cessie miliknya dengan harga yang sama di kemudian hari, VSIC pun menolak. Perusahaan sekuritas tersebut memasang harga Rp 2,1 triliun agar cessie PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) dapat dikembalikan.
Karena pelunasan cessie terhalang, maka PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) melaporkan tindakan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 2012 silam. PT Adyaesta Tiptatama Group (AG) menduga ada praktik korupsi yang dilakukan oknum BPPN dengan VSIC saat mengalihkan cessie milik mereka.
Setelah pengusutan berhenti cukup lama, Kejagung sejak Mei lalu pun mengambil alih perkara dugaan korupsi dalam penjualan cessie oleh BPPN. Penggeledahan pun dilakukan di VSIC sebagai tindak lanjut pengusutan perkara tersebut.