REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama tiga hari mengikuti tes wawancara calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Antikorupsi memiliki catatan sejumlah nama yang tak layak lolos. KMS Antikorupsi berharap catatan itu bisa menjadi bahan bagi pansel dalam memutuskan calon yang lolos.
Peneliti Indonesia Legal Roundtable yang tergabung dalam KMS Antikorupsi mengatakan catatan yang pertama adalah mengenai keragaman perspektif yang diajukan oleh calon. Menurut Erwin, hal itu baik otokritik terhadap kerja dan organisasi KPK, perspektif internasional pemberantasan korupsi, pemikiran tentang pentingnya gerakan sosial melawan korupsi.
Berikutnya, beberapa calon yang didorong dari institusi asalnya seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksaan dan Kepolisian tercatat merupakan sosok yang tidak memperbarui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
KMS Antikorupsi khawatir, ketidakpatuhan ini menunjukkan kurangnya komitmen dalam membangun integritas. KMS Antikorupsi juga mencurigai kekayaannya akan menjadi titik lemah pimpinan KPK.
Berikutnya, terdapat sejumlah calon yang tidak memiliki pemahaman yang jelas dan solutif terhadap persoalan korupsi di Indonesia. KMS Antikorupsi menilai calon-calon dari penegak hukum dan intelijen lebih banyak menyampaikan jawaban normatif dan tidak memiliki jejak rekam pemberantasan korupsi yang memadai.
“Padahal saat menjabat ada kesempatan besar untuk melakukan perubahan, baik melakukan perbaikan di lembaganya maupun dalam mengupayakan penuntasan kasus, termasuk kasus korupsi,” kata Erwin.
Lalu, terdapat dua calon yang memiliki kedekatan dengan eksekutif. Untuk persoalan ini, lanjut Erwin, dibutuhkan perhatian pansel agar kedekatan tersebut dapat menjadi aset komunikasi dan koordinasi, bukan sebagai sandera eksekutif.
Kemudian, KMS Antikorupsi melihat terdapat satu calon yang diduga kuat memiliki transaksi keuangan yang mencurigakan. Meskipun calon sudah memberikan klarifikasi, namun perlu menjadi perhatian mengenai akuntabilitas penggunaannya.
KMS Antikorupsi juga mencatat, terdapat satu calon yang menginginkan KPK untuk tidak memiliki penyidik independen. Menurut Erwin, kondisi ini menunjukkan lemahnya pemahaman terkait mandat undang-undang tentang penguatan organisiasi KPK, pemberantasan korupsi dan independensinya dalam bekerja.