REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kota Yogyakarta dalam dasa warsa terakhir ini menghadapi permasalahan yang dilematis. Terutama dengan maraknya pembangunan hotel berbintang dan pusat perbelanjaan.
Di satu sisi, fenomena tersebut telah mendorong pertumbuhan investasi daerah. Namun di sisi lain telah menggerus indeks kenyamanan hidup masyarakat kota Yogyakarta.
Tidak jarang, hal ini menimbulkan konflik yang berujung pada kekhawatiran hilangnya keistimewaan. Sebab, pembangunan kota tidak lagi berlandaskan pada acuan sejarah dan budaya. Namun mengedepankan keuntungan ekonomi semata.
Pemaparan tersebut disampaikan Dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, Suryanto dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Teknik, Jumat (28/8).
Penelitiannya menyimpulkan, ketentuan mengenai penataan ruang dalam UU Nomor 13 tahun 2012 tidak cukup sebagai acuan pengaturan keistimewaan tata kota di Yogyakarta.
Menurutnya konsep keistimewaan tata ruang kota Yogyakarta saat ini tidak jelas. Padahal, pertimbangan keistimewaan harus berdasarkan akar sejarah dan budaya. "Induk tata ruang keistimewaan adalah teks yang ada di buku negarakertagama," katanya.
Suryanto menerangkan, dalam pupuh-pupuh di buku Negarakertagama diuraikan tata ruang Majapahit sebagai kota tertua. Adapun penanda keistimewaan Yogyakarta dalam tataran konsep adalah struktur poros monumental Tugu, Kraton, Panggung Krapyak dan Struktur Mandala Masjid Pathok Negoro.
Kemudian pola ruang kampung-kampung prajurit Kraton. Sedangkan keistimewaan tata ruang dalam praktiknya diwujudkan dalam kawasan Jero Beteng. Ia menambahkan, keistimewaan tata ruang Kota Yogakarta merupakan warisan berharga dari Pangeran Mangkubumi.
Bahkan, semua prinsip pembangunan kota yang berkonsep budya Jawa telah diwujudkan di Kota Yogyakarta. Suryanto mengibaratkan Kota Yogyakarta sebagai model pembangunan kota berbasis budaya. Ia pun menyimpulkan, tata ruang kota Yogyakarta adalah mahakarya Hamengku Buwono I.
"Tidak ada raja Jawa yang mempunyai kemampuan sebanding dengan beliau dalam membangun kota," terangnya. Namun, konsep pembangunan kota saat ini, justru dikembangkan lewat pengetahuan modern yang berbasis pada negara barat.
Ia berpendapat, apabila sejarah dan budaya menjadi haluan pembagunan, maka keistimewaan Kota Yogyakarta bisa tetap lestari. "Tapi jika ekonomi yang menjadi haluan, mungkin kita harus mengucapkan selamat tinggal keistimewaan (Kota Yogyakarta)," Ujar Suryanto.