REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak diproklamasikan 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia telah melewati beragam ujian sejarah. Salah satu ujian terberatnya terjadi pada periode 1945-1950.
Dalam kurun waktu lima tahun itu jabang bayi bernama Indonesia harus berperang melawan pasukan sekutu yang tidak sudi melihat rakyat jajahannya merdeka. Bayi Indonesia yang masih tergolong balita ini juga mesti berdiplomasi ke sana ke mari mencari pengakuan dari luar negeri. Sampai akhirnya pada 1950 bangsa ini bisa merayakan kemerdekaannya yang pertama di Istana Negara Jakarta.
Sekarang, setelah 70 tahun berlalu beragam peristiwa itu bisa kita saksikan kembali melalui pameran '70 tahun HistoRI Masa Depan' di gedung Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Pasar Baroe, Jakarta Pusat. Pameran yang akan berakhir Oktober nanti ini menarik karena tidak hanya menghadirkan foto perang revolusi hasil jepretan anak-anak bangsa sendiri, tapi juga koleksi foto dari fotografer Eropa yang tersimpan di Museum Bronbeek Belanda.
Berikut wawancara wartawan Republika, M Akbar Wijaya, dengan Kepala Kurator GFJA Oscar Motuloh tentang pameran ini
Kenapa pameran ini mengangkat tema “70 tahun HistoRI Masa Depan” ?
Ini sebetulnya hasil diskusi dengan teman-teman. Kami melihat sejarah visual yang ada selama ini terkesan sakral. Itu-itu saja yang diulang. Misalnya kita bicara soal Jenderal Sudirman. Sebenarnya Sudirman berperang melawan siapa? Untuk menjawab itu kami menghadirkan foto Spoor (Jenderal Simon Hendrik Spoor) berdampingan dengan Sudirman.
Ada juga foto gerilyawan Indonesia dengan prajurit Belanda. Anak-anak muda harus tahu membangun republik tidak semudah membalikan telapak tangan. Artinya dari sejarah kita mencoba memotret sejarah masa depan kita. Sejarah bukan sekadar masa lalu yang disimpan di pojok museum. Dia harus selalu disegarkan dan dibarukan.
Kenapa memilih media foto untuk menyampaikan pesan dari masa lampau?
Kalau media tulis itu kan berisi persepsi yang gambarnya kita bayangkan. Tapi kalau media foto itu atmosfer peristiwa yang terekam. Dia (foto) mewakili detik-detik yang kita lihat di generasi tertentu. Sehingga orang bisa mengatakan fotografi adalah bukti dari deskripsi masa lampau. Makanya kita mencoba dengan segala keterbatasannya memilih fotografi.
Secara garis besar foto-foto yang ada di sini bercerita soal apa saja?
Kami ingin menyampaikan bahwa kemerdekaan milik semua orang. Kemerdekaan diperjuangkan oleh semua orang. Bukan cuma diplomat dan militer saja. Misalnya ada peran tukang sablon, tukang bikin perangko. Di zaman itu bikin sablon dan perangko (untuk propaganda kemerdekaan) tidak sembarangan.
Jadi orang-orang di belakang layar dari narasi-narasi kecil itu yang kami coba munculkan. Sehingga keberadaan Indonesia itu dari dukungan semua pihak, dukungan semua bangsa, dukungan semua agama, semua entitas, dan etnik yang ada.
Apa yang membedakan pameran foto kali ini dengan pameran foto yang diadakan GFJA sebelumnya?
Kami juga riset ke Museum Brobeek Belanda untuk melihat (peristiwa revolusi kemerdekaan) dari dua sisi. Misalnya mau tahu foto waktu tentara Belanda datang seperti apa kan tidak mungkin dari pihak kita yang memotret. Sehingga kita gak lagi ngomongin soal perang tapi kelengkapan data. Jadi kalau misalnya ada novelis nulis yang inspiring soal sejarah mungkin gambar itu bisa dimanfaatkan.
Kami juga coba bekerjasama dengan Yayasan Bung Karno. Mereka menemukan foto seputar proklamasi kemerdekaan ternyata ada 13 foto. Yang kita lihat selama ini kan hanya tiga atau empat foto. Nah kami mencoba sajikan cerita soal proklamasi ini dari kacamata anak-anak muda menggunakan aplikasi android. Sehingga anak-anak muda bisa tahu di Tugu Proklamasi itu dulu ada rumah Sukarno.
Keselurah foto yang dipamerkan ada berapa jumlahnya dan bagaimana kriteria pemilihannya?
Seluruhnya ada sekitar 120-an foto. Kriteria pemilihannya ada dua ada yang kita pilih berdasarkan tema. Ada juga yang kita pilih sesuai kronologi.
Dari rangkaian gambar ini bagaimana kita mesti memaknai pesan sejarah dari masa lampau?
Jadi kalau kita lihat (foto-foto ini) drama-drama sejarah itu terjadi pada zamannya. Banyak sejarah yang tidak pernah tertulis. Banyak juga sejarah yang muncul dengan omong kosong dan cerita-cerita yang menarik. Tapi ini benar atau tidak sebelum ada gambar berarti hoax. Kurang lebih seperti itu.
Makanya kita coba gali sedalam mungkin soal itu (perjuangan kemerdekaan). Kami coba ngomongin sejarah dari sudut Belanda yang saat itu mesin perangnya hebat tapi dengan bambu runcing kalah juga. Bukan dalam arti bambu runcingnya, tapi semangatnya (pejuangan Indonesia).
Dari foto-foto ini apa yang membedakan dunia fotografi masa sekarang dengan masa lampau baik dari sisik perangkat teknik maupun fotografernya sendiri?
Indonesia beruntung waktu lahir (proklamasi) bukti visualnya dibuat oleh fotografer IPPHOS (Indonesia Press Photo Service). Nan Mendur bersaudara (fotografer IPPHOS) ini bisa dikatakan adalah tokoh pioneer fotografi perjuangan yang secara kebetulan teknik fotografinya sederajat dengan orang-orang Eropa. Ini karena mereka orang-orang Manado yang berpihak kepada republiK. Jadi pernah belajar di Koran Jepang dan Belanda.
Bagi mereka (Mendur bersaudara) bikin foto story itu sudah biasa. Tahun 1933 misalnya di Si Mendur sudah bikin cerita soal puasa dengan judul “Poeasa”. Gambarnya orang lagi berwudhu. Mereka sudah bikin foto story yang keren. Kalau kita melihat secara sudut pengambilan sudah bagus. Misalnya foto pernikahan Bung Tomo berjudul pengantin revolusi pakai lensa 50, tapi hasilnya keren. Atau misalnya peristiwa Westerling kami ambilnya dari Broonbeektapi yang motret IPHHOS.
Nah kebetulan para fotografer IPPHOS ini kan dahulu ada di lapangan. Mereka ada di garis depan karena mereka gaul. Mereka kenal Sudirman dengan baik. Mereka kenal dengan Suharto. Dekat dengan presiden. Sehingga mereka angel sudah tahu. Misalnya foto sudirman sedang berpelukan itu keren. Jadi kalau kita sejajarkan foto-foto ipphos dengan fotografer perang di Barat kurang lebih sama. Jadi kesederajatan kita dari unsur karya tidak diragunakan lagi.
Bagaimana anda mengaitkan jurnalisme, sejarah dan fotografi?
Jurnalisme itu kan alat pencatat sejarah. Semua sejarah (yang kita tahu) bisa dikatakan berasal dari laporan jurnalistik yang melukiskan peristiwa masa lampau. Jadi jurnalisme bagian dari sejarah dengan mencatat para pelaku, saksi mata, dan sebagainya.
Jadi jurnalisme selalu menyimbolkan masa depan. Jurnalisme selalu berpijak pada sesuatu yang pernah ada sebagai dasar mereka bicara. Ketika jurnalisme diterjemahkan secara fotografis maka jurnalisme harus memiliki background sejarah yang kuat. Supaya ketika mengabadikan dia mengerti.