REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menegaskan bahwa jika ada permintaan maaf untuk kasus pelanggaran HAM dalam kurun 1965-1966, maka hal itu bukan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi untuk korban.
"Yang jelas, hal itu masih dalam proses pembahasasan dengan beberapa lembaga seperti Komnas HAM dan Kontras, apa bentuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam kurun 1965-1966 yang terjadi pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) itu," ujarnya di Jakarta, Senin (31/8).
Setelah menghadiri rapat koordinasi Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan di Kemenkopolhukam, Jakarta, ia mengatakan pemerintah masih mempertimbangkan, apakah akan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk penyesalan atau permintaan maaf kepada para korban.
"Permintaan maaf akan diberikan jika pemerintah menemukan tindakan-tindakan yang tidak tepat, ketidakadilan maupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada korban pada kurun 1965-1966," kata anggota DPR RI periode 2004-2009 itu.
Selain itu, pemerintah juga masih menimbang, apakah langkah penyelesaian kasus tersebut dilakukan menurut pro-justitia atau non-pro justitia. Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan wacana permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM 1965-1966 belum terpikirkan.
"Belum pernah terpikir (permintaan maaf tersebut)," ujar Luhut singkat ketika dikonfirmasi oleh pewarta.
Polemik penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Indonesia terus bergulir hangat. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan dirinya menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966 setelah adanya gerakan 30 September 1965 (G30S).
Saat ini, pemerintah sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.
Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.