REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Dirut Pelindo II RJ Lino kepada asing Hutchison dinilai melanggar UU Pelayaran Nomor 17 tahun 2008.
“Yang dilakukan oleh Pelindo II merupakan upaya penyelundupan pembenaran terhadap undang-undang dan ini jelas usaha-usaha yang didasarkan kepada itikad tidak baik,” tegas Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azzam Azman Natawijana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Serikat Pekerja JICT, Selasa (1/9) sore di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Ketua Komisi VI Achmad Hafizh Tohir juga menegaskan akan menelusuri dugaan pelanggaran konsesi JICT. Salah satunya, DPR akan segera membuat panja.
“Selain itu DPR juga akan memanggil Menteri BUMN bersama Lino. Evaluasi atas perpanjangan konsesi JICT harus dilakukan secara komperehensif,” tegas Tohir.
Sementara itu, SP JICT menyampaikan bahwa konsesi asing di JICT saat ini tidak ada urgensinya. Tahun 1999 JICT diprivatisasi karena negara butuh dana saat itu. Saat ini tidak ada hal yang mendesak kerjasama asing di JICT.
“Hutchison hanya bayar 215 juta dolar AS untuk 20 tahun perpanjangan lebih murah dari tahun 1999 sebesar 243 juta dolar AS. Selanjutnya uang sewa selama 20 tahun sebesar 85 juta dolar AS dibayar JICT, bukan Hutchison. Jadi secara teknis perusahaan ini dijual sangat murah,” kata Ketua SP JICT Nova Sofyan Hakim yang dalam RDPU itu, didampingi sekitar 50 pekerja JICT.
Selain itu, potensi pasar atau volume tidak ditentukan oleh Hutchison melainkan faktor makro dan pola perdagangan global. Jadi Hutchison hengkang pun pasar tidak akan berpengaruh karena kapal-kapal yang sandar di JICT relatif sama sejak sebelum 1999.
“Jadi SP ingin agar JICT dapat dikelola mandiri dan perpanjangan dengan asing tidak diperlukan. Hal ini mengingat SDM dan peralatan sudah sangat memadai. Jangan sampai perpanjangan ini hanya menjadi motif berbagi keuntungan dengan Hutchison,” papar Nova.